MUDA

Fenomena AI dan Robotika: Apakah Kurikulum Pesantren Harus Direkonstruksi?

Dalam kuliah umum di salah satu pondok terbesar di Indonesia pada 25 Juli 2025 lalu, Ketum PBNU, Gus Yahya, mengingatkan para santri tentang perkembangan teknologi yang begitu cepat, khususnya di bidang robotika dan Artificial Intelligence (AI).

Dikatakan, dua teknologi ini telah memberikan efisiensi dalam banyak urusan kemanusiaan. Bahkan, beliau menyebutkan bahwa NU sendiri telah menggunakan AI untuk mempermudah pengelolaan administrasinya.

Pengadopsian teknologi AI oleh NU ini menciptakan optimisme bagi sebagian santri tulen yang bercita-cita berkhidmah dalam struktur organisasi NU, tetapi juga menimbulkan keraguan bagi sebagian lainnya. Pasalnya, dalam kuliah itu, Gus Yahya juga menyampaikan, “Alim kitab saja tidak cukup untuk membuat kalian masuk ke dalam struktur organisasi NU. Penguasaan di bidang perkomputeran dan teknologi paling mutakhir seperti AI juga sangat dibutuhkan dalam mengurus organisasi sebesar NU.”

Memang kita tidak bisa menghindar dari gelombang perkembangan ini. Perkembangan ini bersifat niscaya, dan siapa pun yang tidak cukup cakap mengikuti arus perkembangannya, bisa dipastikan akan usang tergerus.

Salah satu hal menarik yang disampaikan Gus Yahya adalah pertanyaan beliau kepada para santri, “Apakah metode dan kurikulum klasik kita masih relevan dengan perkembangan zaman? Seperti memaknai kitab dengan aksara pegon, menulis dengan tinta gosok, pembelajaran ilmu syair Arab, ushul fikih, dan lain-lain. Sedangkan di lapangan kita tidak menemukan relevansinya dengan apa yang dibutuhkan masyarakat.”

Bagi para santri, pertanyaan ini jelas sangat sukar untuk dijawab. Meskipun terkesan kuno dan sudah tidak relevan, metode pembelajaran pesantren tradisional—seperti memaknai kitab dengan aksara Jawa pegon dan menulis menggunakan tinta gosok—sudah menjadi budaya turun-temurun di pesantren, bahkan menjadi identitas pesantren itu sendiri.

Namun, nampaknya perubahan zaman menghendaki penyesuaian metode dan kurikulum klasik dalam praktik pendidikan pesantren.

Dari pernyataan Ketum PBNU kepada para santri, kemudian timbul pertanyaan: apakah pesantren harus benar-benar mengganti metode dan kurikulum klasiknya dengan pembelajaran berbasis teknologi modern?

Memahami Kurikulum dari Al-Ghazali

Kita semua tahu, sebagaimana sabda Nabi Saw, bahwa mencari ilmu itu hukumnya wajib bagi setiap individu. Namun, tidak semua ilmu wajib kita pelajari, hanya ilmu-ilmu yang memiliki kaitan dengan kemaslahatan kehidupan dunia dan akhiratlah yang wajib kita pelajari.

Al-Ghazali, dalam kitabnya Ihya’ Ulumiddin, membagi ilmu yang wajib dipelajari menjadi dua: ilmu yang wajib bagi setiap individu (fardu ‘ain) dan ilmu yang kewajibannya bersifat kolektif (fardu kifayah).

Jika kita melihat kurikulum pesantren, tidak semua fan ilmu yang diajarkan bersifat fardu ‘ain. Bahkan, di tingkat yang lebih tinggi, kebanyakan disiplin ilmu yang diajarkan bersifat fardu kifayah, seperti ilmu syair Arab (ilmu al-’arud), mantiq, ushul fikih, dan masih banyak lagi fan ilmu yang kefarduannya bersifat kifayah, bahkan ada yang bersifat mubah.

Ironisnya, ilmu-ilmu ini menjadi kurikulum wajib di pesantren. Sehingga mereka yang tak berminat pada disiplin syair Arab, mau tidak mau, harus bersusah payah untuk menghafal wazan-wazan-nya. Padahal, ilmu ini tidak memiliki kaitan langsung dengan kemaslahatan kehidupan dunia maupun akhirat.

1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button