Filosofi Negeri Bunglon
Padahal, itu tengah sangat dibutuhkan oleh Indonesia demi —kepentingan yang lebih dan amat besar, serta jangka panjang, perbaikan dan pemulihan demokrasi.
Makanya, demokrasi itu telah dirusak, karena ada penguasa bunglon yang kepingin mempertahankan tahta kursi kebunglonannya. Sudah tahu perintah konstitusi dua periode, kepingin tiga periode. Dibuatlah pengaruh-pengaruhnya dengan cara bunglon pula, mulailah melalui partai-partai anggota koalisinya, juga melalui kepala-kepala desa, terakhir malah melalui para komunitas sukarelawan pendukung politiknya.
Demikian juga lembaga DPR, fungsi utamanya sebagai lembaga penampung aspirasi rakyat secara terbuka, sebaliknya malah tertutup.
Itu bisa dilihat pada simbol ketika para demonstran datang ke DPR berpuluh-puluh ribu orang, kok dari DPR menyambutnya hanya 1-2 orang. Itupun, aspirasi dan petisi yang disampaikan oleh para demonstran itu, seperti tak sadar seolah dikelabui, kemudian hanya menjadi barang yang tertutup dan ditutupi. Bahkan, nyatanya kemudian raib dan menghilang, tidak pernah ditindaklanjuti hasilnya.
Sama dengan proses pembuatan produk-produk perundang-undangan legislasinya, tertutup tanpa partisipasi seluas-luasnya diskursus akademik dunia kampus.Layaknya seperti barang selundupan, inkrahnya produk hukum isinya penuh pengelabuan dan penipuan, percis perilaku bunglon kan?
Menjadikan sistem hukum bunglon pun tidak adil. Meskipun ada MA, hukum tetap saja lebih berpihak kepada penguasa. Hukum lebih banyak mengintimidasi rakyat dengan sikap berkepuraan: hakim dan jaksa itu bisa dibeli tergantung berapa tarifnya. Maka, keadilan sebagai ranah penegakan supremasi hukum, tak berarti, kehilangan maknanya.
Juga lembaga kepolisian fungsi filosofisnya berubah yang tupoksinya melindungi dan mengayomi rakyat, malah sebaliknya hanya melindungi dan mengayomi penguasa. Ketika rakyat mengeritik bertentangan, kemudian melakukan perlawanan, pada akhirnya rakyat menjadi korban persekusi dan kriminalisasi.
Celakanya, ternyata selain bunglon itu gesit, bisa loncat-loncat, bahkan bisa terbang kemana-mana, berpindah dan kemanapun dia suka berada.
Jadi, bunglon itu sebegitu gampang bisa menyebar. Bahayanya, jika sifat, sikap dan gaya hidup itu seperti bunglon juga mudah menyebar. Apalagi,kalau sudah menjadi endemik menyelubungi dan menular kalangan rakyat.
Maka, ketika banyak lembaga negara pun berperilaku sudah seperti bunglon, kehancuran negara itu tinggal sesaat. Rakyat yang sudah terpecah, semakin terbelah. Perilaku aksi pengelabuan dan tipu-tipu akan menjadi cara dan pandang, terlihat sehari-hari. Hingga, agama pun sebagai satu-satunya dasar panduan keyakinan dan keimanan yang membentengi , kemudian bisa berubah menjadi agama bunglon yang dewasa ini pun tengah menjadi kecenderungan dan menggejala.
Tidakkah kita malu dan tidak merasa berdosa ketika negeri ini disebut negeri bunglon, ketika pejabat penguasa dan rakyatnya ikut-ikutan seperti gerombolan bunglon? Wallahu’alam Bishawab.
Mustikasari-Bekasi, 3 Juni 2022
Dairy Sudarman, adalah pemerhati sosial, politik dan kebangsaan. Tinggal di kota Bekasi.