Fitnahnya Kurang Cerdas

Beberapa waktu lalu, salah satu anggota grup WhatsApp jurnalis muslim membagikan link video reels Instagram (IG) yang narasinya menuduh pendiri sekaligus pemilik Jakarta Islamic School (JISc) Fifi Proklawati Jubilea, main dukun demi menarik pendaftar ke sekolahnya.
Biasanya, di grup itu, tiap unggahan yang dikirimkan ramai komentar. Tapi kali ini tidak. Saya juga tak tertarik untuk mengomentari, atau bahkan meluruskan. Mengapa? lho ngapain kita buang-buang waktu ngomentari video hoaks begitu.
Mengapa saya menyebutnya hoaks? Pertama, saya mengenal sosok tertuduh dalam video itu. Mam Fifi -panggilan akrabnya- sudah belasan tahun bergaul akrab dengan jurnalis-jurnalis Muslim. Sehingga kita tahu cukup banyak karakter, pikiran, lingkungan, aktivitas pendidikan dan dakwahnya.
Kedua, akun IG pengunggah konten video itu juga tidak jelas siapa pemiliknya. Akunnya pun mencatut nama besar seoranag ustaz kondang. Bukan akun pribadi atau lembaga yang jelas asal-usulnya. Nggak ‘gentle’ lah.
Ketiga, isinya full fitnah. Ada foto seseorang yang dikasih predikat sebagai ‘dukun’ di rumah Mam Fifi, lalu dibuat narasi kalau pemilik JISc itu mengundang dukun untuk menarik pendaftar JISc itu secara akal sehat kesimpulan darimana?
Padahal, orang yang disebut dukun dengan tampilannya itu belum tentu benar-benar dukun, urusan apa dia datang ke rumah itu juga tidak diketahui oleh pengunggah video, verifikasi atas foto juga kemungkinan tidak dilakukan tapi dia berani menarasikan dan lalu menyebarluaskan fitnah itu? Sungguh keji sekali. Kesannya, pembuat dan penyebar video itu kurang cerdas. Maunya ‘nabok nyilih tangan’ tapi malah seperti nabok mukanya sendiri.
Tapi begitulah. Sekesal apapun kita, sekarang ini kita berada di era post truth. Era di mana kebohongan dan informasi yang tidak akurat lebih mudah diterima dan dipercayai daripada fakta obyektif. Di era ini, emosi, kepercayaan pribadi, dan daya tarik emosional lebih berpengaruh dalam membentuk opini publik daripada bukti-bukti yang jelas. Sehingga fakta objektif menjadi kurang penting dalam membentuk opini publik.
Di masa lalu, penanganan informasi hoaks itu bisa dilakukan dengan “biarin” saja. Biarkan saja, paling nanti dua pekan isu itu akan menguap dan berganti.
Tapi itu dulu. Saat informasi hanya dikendalikan oleh media-media konvensional: media cetak, radio, dan televisi. Ilmu “biarin” saja, tidak berlaku di era media sosial ini. Sekecil apapun hoaks yang menimpa kita, apalagi sudah sampai taraf fitnah, wajib diladeni dengan cara yang sama.
Hoaks dengan tulisan harus dijawab dengan tulisan, hoaks dengan video harus dijawab dengan video. Hoaks di media sosial dijawab dengan wasilah media sosial pula. Ini harus dilakukan untuk sama-sama meninggalkan jejak digital. Sebab jika tidak ada jawaban, maka lontaran hoaks itulah yang dianggap sebagai kebenaran.
Karena itu, saat ada kawan yang bertanya pada saya, bagaimana menjawab fitnah yang menyasar Mam Fifi ini? Ya seperti itulah jawaban saya. Buat video jawaban atas fitnah itu dan luruskan opini sesat yang disebarkan. Bahkan, ada cara cepat yang paling mudah menghadapi serangan hoaks itu. Apa itu? lakukan tangkapan layar (screenshoot) video yang dimaksud, lalu tempeli kata “HOAKS”, lalu unggah di media sosial kita. Tentu ditambahi dengan penjelasan secukupnya.