Gelombang Tsunami Sapu Maksiat
Innalillahi wa inna ilayhi rojiun. Duka pilu mendalam atas kejadian tsunami pada Sabtu malam di Pesisir Pantai Anyer, Banten. Kejadian yang telah menelan begitu banyak korban berjatuhan.
Penghujung tahun, di saat masyarakat menikmati nuansa liburan, ternyata Allah subhanahu wata’ala tengah memberi kejutan dengan tumpahan air laut ke daratan. Rasanya menambah rentetan kejadian memilukan bagi bangsa setelah bencana Lombok, Palu juga Donggala.
Jika kita menelaah, apa yang telah mewarnai perjalanan 2018 ini rasanya begitu pelik untuk ditelisik. Namun, sebagai seorang Muslim yang senantiasa mengindahkan muhasabah dalam dirinya, kontemplasi adalah cara ampuh sebagai amunisi untuk tunduk patuh pada Sang Pencipta.
Inilah negeriku. Negeri Muslim yang tak ayal diwarnai goresan tinta hitam. Di mana penduduknya mayoritas Muslim, tapi kebijakan dan peradabannya belum sesuai dengan apa yang dikalamkan oleh Allah dan disabdakan Rasulullah.
Inilah nusantara. Di mana kebudayaannya terkadang lebih dianggap sakral dibanding firman Allah. Di kala zina, riba dibiarkan merajalela. Adanya miras bukan sebuah larangan, tapi sekadar ditertibkan dalam jalur peredaran Di saat ajaran Islam marak didiskriminasi, dicap radikalisasi dan ulamanya dipersekusi.
Subhanallah, hati Muslim mana yang tak terperi menyaksikan dari segala apa yang tengah terjadi. Amarah membuncah, kekhawatiran melanda saat setapak melaju sedepa aturan-Nya semakin dibuat tak berharga.
Bukan hanya manusia, air laut pun murka. Ia marah dengan tingkah pongah manusia yang durhaka. Manusia yang lebih memilih lebih takut kepada manusia dibandingkan Sang Pencipta. Yang dengan kuasanya mampu berbuat aniaya untuk rakyat yang dipimpinnya.
Air laut pun mengadu kepada Allah. Ia meminta untuk dapat menggeliat, menyapu maksiat.