Generasi Qur’ani Pengusung Peradaban Islam

Siapakah generasi Qur’ani? Yaitu orang-orang yang menempatkan Al-Qur’an sebagai komandan. Mereka mematuhi apa saja perintah Al-Qur’an dan menghindar apa saja yang dilarang Al-Qur’an. Mereka bukan orang-orang yang sekadar menghafal Al-Qur’an atau membincang aspek-aspek ilmiah Al-Qur’an.
Jadi generasi Qurani ini sikapnya terhadap Al-Qur’an, seperti para sahabat Rasulullah Saw. Bila Al-Qur’an memerintahkan shalat malam, maka mereka segera shalat. Al-Qur’an memerintahkan berjilbab untuk wanita, mereka segera memakai jilbab dan seterusnya.
Generasi ini menurut Sayid Qutb, adalah generasi terbaik. Dengan sikapnya yang tegak lurus dengan Al-Qur’an ini, maka mereka siap untuk memegang tampuk kekuasaan bila sewaktu-waktu amanah itu datang. Mereka adalah generasi yang terbiasa memecahkan masalah, bukan generasi yang membuat masalah.
Sayid Qutb menjelaskan karakteristik generasi yang hebat ini, ”Sumber rujukan utama generasi pertama itu adalah Al-Qur’an, Al-Qur’an semata. Sedangkan hadits Rasulullah Saw dan petunjuknya hanyalah satu bentuk penjelas dari sumber tersebut. Oleh karena itu ketika Aisyah ra ditanya tentang akhlak Rasulullah, ia menjawab, ”Akhlak beliau adalah Al-Qur’an.” (HR an Nasa’i)
Dengan demikian hanyalah Al-Qur’an yang menjadi sumber mereka. Darinya mereka memetik pelajaran dan dengannya pula mereka diubah menjadi tokoh-tokoh besar. Hal itu terjadi bukan karena umat manusia saat itu tidak memiliki peradaban, budaya, ilmu pengetahuan, buku-buku rujukan atau kajian-kajian ilmiah, sama sekali bukan begitu! Karena saat itu ada peradaban Romawi dan budayanya, serta buku-buku dan undang-undangnya yang sampai saat ini dijadikan pedoman hidup Eropa, atau setidaknya perpanjangan darinya. Ada warisan peradaban Yunani, logikanya, filsafatnya, serta seninya yang tetap menjadi sumber pemikiran Barat hingga saat ini. Juga ada peradaban Persia, seninya, syairnya, legenda-legendanya, kepercayaan-kepercayaannya, dan sistem kekuasaannya.
Demikian juga peradaban-peradaban lain yang jauh maupun dekat, seperti Peradaban India dan China. Peradaban Romawi dan Persia mengelilingi jazirah Arab dari bagian Timur dan barat, juga Yahudi dan Nasrani yang hidup di jantung jazirah Arab. Jadi mereka sama sekali tidak kekurangan peradaban dan budaya internasional yang membuat generasi ini hanya mengambil rujukan dari Kitab Allah selama masa pembentukannya.
Namun, sterilisasi mereka dari pengaruh peradaban dan budaya luar itu merupakan suatu perencanaan yang matang dan suatu metode yang dikehendaki. Hal itu dapat dilihat dari marahnya Rasulullah Saw saat melihat Umar bin Khattab sedang memegang lembaran Taurat dan beliau bersabda, ”Demi Allah, seandainya Musa hidup saat ini bersama kalian, niscaya ia hanya diperbolehkan Allah SWT untuk menjadi pengikutku.” (HR Abu Ya’la).
Sayid Qutb melanjutkan,”Dengan demikian, ada suatu rencana dari Rasulullah Saw untuk mensterilkan generasi ini dari sumber lain, selama masa pembentukan mereka. Dan mencukupkan mereka dengan sumber rujukan dari kitab Allah semata sehingga jiwa mereka secara utuh hanya terisi dengan ajaran tersebut dan mereka berjalan dengan manhajnya semata. Oleh karena itu beliau marah saat melihat Umar bin Khattab ingin mengambil rujukan dari sumber yang lain. Rasulullah ingin membentuk generasi yang bersih hatinya, akalnya, gambaran hidupnya, dan jiwanya dari segala pengaruh lain, selain manhaj Ilahi oleh Al-Qur’an. Dengan begitu, generasi tersebut mengambil rujukan mereka dari sumber itu semata. Dan hasilnya adalah tercetaknya generasi istimewa dalam sejarah yang belum pernah terulang lagi.”
Sayangnya, menurut Sayid Qutb, generasi berikutnya rujukan mereka telah berubah menjadi beragam dan bermacam-macam. “Sumber rujukan generasi-generasi berikutnya telah tercampur oleh filsafat Yunani dan logika mereka, legenda Persia dan pola pandang mereka, Israiliyat Yahudi dan teologi Nasrani dan pengaruh peradaban serta budaya lainnya. Semua itu tercampur dalam menafsirkan Al-Qur’an, bangunan ilmu kalam, juga dalam fiqih dan ushul. Dari racikan sumber-sumber itu tercetaklah generasi berikutnya sehingga keberhasilan generasi pertama tidak terulang lagi,” jelas Sayid Qutb dalam bukunya Maalim fit Thariq (Petunjuk Jalan).
Sayid Qutb melanjutkan, ”Mereka (generasi pertama) membaca Al-Qur’an bukan sekedar ingin tahu dan sekadar membaca, juga bukan sekedar untuk merasakan dan menikmatinya. Tidak ada seorang pun dari mereka yang mempelajari Al-Qur’an untuk sekadar menambah pengetahuan atau untuk menambah bobot ilmiah dan kepintaran dalam ilmu fiqih. Mereka mempelajari Al-Qur’an untuk menerima perintah Allah SWT berkenaan dengan masalah pribadi mereka, masyarakat tempat mereka hidup dan kehidupan yang dijalaninya bersama jamaahnya. Mereka menerima perintah Allah SWT itu untuk segera diamalkan setelah mendengarnya, seperti seorang tentara dalam medan perang menerima ‘perintah harian’ yang langsung ia kerjakan setelah menerimanya. Oleh karena itu tidak ada dari mereka yag memperbanyak mempelajari Al-Qur’an dalam sekali pertemuan, karena ia merasa bahwa dengan memperbanyak perintah Allah SWT itu memperbanyak pula kewajiban dan tugas yang ia emban. Mereka cukup membaca dan mempelajari sepuluh ayat dalam setiap kesempatan menelaah Al-Qur’an, hingga ia menghafal dan melaksanakan isinya. Seperti diterangkan dalam hadits Ibnu Mas’ud ra.”
Firman Allah SWT,
وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَىٰ مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا
“Dan Al-Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS. al Isra’ 106)