SIRAH NABAWIYAH

Generasi Qur’ani yang Unik Hasil Didikan Rasulullah Saw

Dengan semangat “menerima untuk melaksanakan”, Al-Qur’an melebur ke dalam diri mereka: meringankan beban tugas, memandu amal, membentuk budaya hidup, dan mengubah arah sejarah. Al-Qur’an bagi mereka bukanlah teks yang tinggal di lembaran atau pikiran, tetapi metodologi praktis yang membentuk jiwa dan kehidupan.

Sesungguhnya, harta karun Al-Qur’an hanya terbuka bagi orang yang mendatanginya dengan semangat ini—semangat pengetahuan yang melahirkan tindakan. Sebab, Al-Qur’an diturunkan bukan untuk menjadi buku seni sastra atau catatan sejarah, tetapi sebagai metodologi hidup Ilahi yang murni.

Demikianlah, inilah rahasia mengapa para sahabat Nabi Saw disebut sebagai generasi Qur’ani; sebuah generasi istimewa yang pernah lahir dalam pentas sejarah Islam dan umat manusia, namun tidak pernah terulang kembali sebagai kelompok besar dalam satu masa dan tempat setelah mereka wafat.

Keunikan inilah yang menjadikan mereka dikenal dengan sebutan al-Salaf al-Ṣāliḥ, yakni generasi terdahulu yang saleh, yang selalu dijadikan panutan dan teladan oleh generasi-generasi berikutnya.

Imam Nawawi dan Al-Qur’an

Walaupun sebagai satu kelompok besar yang hidup dalam satu masa dan tempat generasi Qur’ani tidak pernah lagi terulang, namun sepanjang sejarah Islam selalu muncul individu-individu yang memiliki karakteristik serupa. Mereka menjadi cahaya penerus yang menyebar di berbagai penjuru dunia—timur, barat, utara, dan selatan—sebagai bukti keberlangsungan pengaruh Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw. Salah satu di antara sosok itu adalah Imam Nawawi.

Nama lengkap beliau adalah Yahya bin Syaraf bin Marī bin Hasan bin Husain bin Hizām bin Muhammad bin Jum‘ah al-Nawawī. Beliau lahir di kota Nawa pada bulan Muharram tahun 631 H.

Ada kisah inspiratif dari Imam Nawawi yang menunjukkan betapa erat hubungannya dengan Al-Qur’an hingga membentuknya menjadi ulama besar yang menguasai berbagai cabang ilmu Islam: fikih, hadis, ilmu rijal, bahasa, tasawuf, dan lain-lain. Syekhnya dalam thariqah, Syekh Yāsīn bin Yusuf al-Zarkasyī, pernah menuturkan:

“Aku melihat Syekh Muhyiddin ketika ia berusia sepuluh tahun di Nawa. Anak-anak lain memaksanya untuk bermain bersama mereka, tetapi ia justru lari dari mereka sambil menangis karena dipaksa, dan ia tetap membaca Al-Qur’an dalam keadaan itu. Maka masuklah rasa cinta kepadanya dalam hatiku. Ayahnya pernah menempatkannya di toko, tetapi ia tidak mau menyibukkan diri dengan jual-beli dari Al-Qur’an. Aku pun mendatangi gurunya yang mengajarinya Al-Qur’an, lalu berpesan tentang anak ini dan berkata: ‘Anak ini diharapkan akan menjadi orang yang paling alim dan zuhud pada zamannya, dan manusia akan mengambil manfaat darinya.’ Gurunya bertanya kepadaku: ‘Apakah engkau seorang peramal?’ Aku menjawab: ‘Tidak, melainkan Allah yang membuatku berkata demikian.’ Lalu ia menyampaikan hal itu kepada ayahnya, maka ayahnya pun bersungguh-sungguh mendidiknya hingga ia menamatkan Al-Qur’an ketika hampir baligh.”

Kisah Imam Nawawi ini menjadi bukti bahwa walaupun generasi Qur’ani sebagai kelompok besar hanya lahir pada masa sahabat Nabi Saw, spirit dan ciri-cirinya tetap bisa hadir pada individu-individu sepanjang zaman.

Imam Nawawi adalah salah satu contoh nyata; sejak kecil hatinya terpaut dengan Al-Qur’an, hingga jalan hidupnya sepenuhnya diarahkan oleh Al-Qur’an. Apa yang dialami Imam Nawawi sejalan dengan rahasia generasi sahabat: mereka tidak hanya membaca Al-Qur’an untuk pengetahuan, tetapi untuk diamalkan, dihayati, dan dijadikan pedoman hidup.

Dari sinilah lahir pribadi yang alim, zuhud, serta memberikan manfaat besar bagi umat Islam. Dengan demikian, Imam Nawawi dapat disebut sebagai bagian dari mata rantai generasi Qur’ani, meski lahir berabad-abad setelah para sahabat.

Laman sebelumnya 1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button