George Floyd: Korban Sistem Rasis
Kematian George Floyd, warga kulit hitam oleh aksi brutal polisi Amerika, memicu gelombang demonstrasi. Amerika terguncang selama satu minggu terakhir ini. Bak medan perang, api berkobar dimulai dari Minneapolis dan menyebar ke negara bagian yang lain. Lebih dari 9.300 orang ditangkap sebagai buntut aksi protes kematian George Floyd (kumparan.com, 04/06/2020).
Aksi solidaritas tak hanya dilakukan di Amerika. Di beberapa negara juga diwarnai aksi protes. Melansir dari detik.com (02/06/2020), berikut beberapa aksi protes di berbagai negara. Ratusan orang di London, Inggris. Ratusan pendemo di Berlin, Jerman. Dua ribu demonstran longmarch ke kantor dubes AS di Auckland, Selandia Baru.
Di Selandia Baru, tak hanya di Auckland, di Christchurch, sekitar 500 orang mengikuti aksi solidaritas serupa. Sementara di ibu kota Wellington, sekitar 500 orang lainnya mengikuti malam doa bersama yang digelar di luar gedung parlemen Selandia Baru meskipun diguyur hujan.
Belanda, Yunani, Australia, Jerman, Brasil, juga melakukan aksi yang sama. Tagar #BlackLivesmatter menjadi trending topik media sosial. Sejumlah pesohor dunia juga turun ke jalan dan memberikan komentar terhadap kematian George Floyd.
Sejumlah negara otorita semacam Rusia, China, dan Korea Utara menjadikan isu Floyd untuk melemahkan posisi Amerika di mata dunia (tirto.id, 02/06/2020). Tagar #BungkerBoy adalah olok-olok terhadap tindakan Trump yang bersembunyi di bunker bawah tanah untuk mengantisipasi amarah massa berdemo karena kematian George Floyd.
Floyd bukanlah kasus pertama bermotif diskriminasi rasisme. Setiap hari selalu terjadi kriminalitas terhadap minoritas di negara Amerika Serikat. Superioritas kulit putih atas ras lain telah menjadi warisan budaya juga penyakit di sistem kapitalisme.
Kita semua tahu sejarah Amerika. Negara Amerika tegak di atas genosida suku Indian, suku asli pulau Amerika pada tahun 1700an. Atas nama peradaban, orang kulit putih membantai orang Indian yang berbeda warna kulit, rambut, dan bahasa.
Awalnya, suku Indian menyambut baik kedatangan orang-orang Eropa ke pulau mereka. Lama kelamaan, orang Eropa menunjukkan wajah aslinya, datang untuk mengeruk emas dan kekayaan lainnya. Lahan serta tanah kelahiran suku Indian diambil secara perlahan-lahan. Kemudian muncullah perang dan konflik yang membuat jumlah suku Indian semakin sedikit. Mereka pun tergusur di wilayah tertentu yang terbelakang dan tertinggal dari pusat kota Amerika.
Hingga hari ini, mereka masih berjuang menuntut persamaan hak, sama seperti warga Afrika-Amerika, atau orang kulit hitam. Namun sangat disayangkan, perjuangan mereka akan sia-sia selama dunia masih dikuasai oleh sistem kapitalisme. Sistem inilah yang menciptakan diskriminasi dan rasisme.
Setidaknya, ada tiga hal mendasar mengapa sistem kapitalisme menyuburkan rasisme.
Pertama, dibangun atas asas sekularisme. Pemisahan antara agama dan kehidupan menyebabkan manusia merasa berhak membuat aturan hidup sendiri. Aturan hidup yang tentu saja jauh dari rasa keadilan. Karena dibuat oleh manusia yang serba terbatas dan lemah dalam menjangkau hakikat hidup.
Kedua, materi atau kekayaan merupakan standar kebahagiaan. Demi mencapai kebahagiaan, mereka akan lakukan apapun, meskipun harus menzalimi orang lain. Prinsipnya, dengan usaha seadanya bisa mendatangkan untung sebesar-besarnya.
Ketiga, sistem kapitalisme adalah sebuah ideologi. Penyebarluasan ide ke seluruh penjuru dunia merupakan keniscayaan sebuah ideologi. Berhubung ideologi ini tidak sesuai fitrah manusia karena mengakui Tuhan sebagai Pencipta namun mengingkariNya sebagai Pengatur. Dan ketidaksesuaian ideologi ini dengan akal manusia, karena mengkompromikan antara kebenaran dan kebatilan. Maka perang dengan kekuatan militer, hingga genosida merupakan cara yang ditempuh ideologi ini agar diterima di seluruh dunia.
Satu-satunya ideologi yang mampu menghilangkan diskriminasi dan rasisme hanyalah Islam. Sebelum Muhammad saw. diangkat menjadi Rasul, kaum Quraisy berada dalam sistem jahiliah. Perbudakan menjadi budaya mereka. Anak perempuan dikubur hidup-hidup karena dianggap membawa sial. Yang kuat dan kaya, merasa berhak menjadi tuan dan menindas yang miskin dan lemah.
Islam hadir di tengah kelamnya kehidupan bangsa Arab dan membawa menuju cahaya. Firman Allah dalam surah Al-Hujurat ayat 13: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Sungguh sangat masyhur bagi kita, kisah seorang budak berkulit hitam bernama Bilal Bin Rabah. Karena kuatnya iman dan ketakwaannya, Rasul saw. mengangkat derajatnya menjadi muadzin. Rasul juga bersabda, bahwa beliau mendengar terompah Bilal di surga. Padahal Bilal masih hidup saat Nabi saw. bersabda.
Benar, adanya perbedaan suku dan bangsa dalam Islam, bukan untuk ajang kekuasaan. Namun lebih dari itu, untuk saling mengenal sehingga semakin meningkatkan ketakwaan kita. Perlombaan dalam kebaikan, saling mengungguli dalam ketakwaan, menghilangkan rasisme dan diskriminasi. Manusia hanya sibuk mengejar ridho Allah, bukan kekayaan materi yang bersifat semu.
Ketika Islam disebarkan ke seluruh penjuru dunia, yang terjadi justru membebaskan penduduk suatu negeri dari tirani kekuasaan. Islam datang membawa persamaan derajat bagi bangsa yang difutuhat. Ini yang menyebabkan Islam mudah diterima oleh Bangsa manapun. Terbukti, lebih dari 14 abad Islam mengatur 2/3 wilayah dunia dengan penuh kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh manusia. Wallahu a’lam []
Mahrita Julia Hapsari, M.Pd
Praktisi Pendidikan