Gila HGB 160 Tahun, Memang Negara Milik Jokowi?
Dalam rangka menarik investor maka Pemerintah Jokowi main obral tanah dan pajak. Nekad dan jor-joran selah-olah negara ini milik sendiri, semau-maunya.
Meski IKN sudah ditetapkan dalam Undang-Undang tetapi rakyat Indonesia banyak yang tidak setuju akan agenda pindah Ibu Kota. Undang-Undang pun dibuat secara licik dan tidak terbuka.
Adalah gila jika Jokowi melalui Menteri ATR Hadi Tjahjanto menawarkan HGB untuk jangka waktu 80 tahun dan dapat diperpanjang 80 tahun sehingga total yang diizinkan 160 tahun.
Aturan seenak udel dewek ini bertentangan dengan UU Pokok Agraria yang memberi hak HGB hanya untuk 30 tahun dengan perpanjangan 20 tahun. Presiden telah melakukan “a bus de droit” melanggar Undang Undang.
Kepanikan luar biasa Pemerintah. Ngotot pindah IKN tapi modal dengkul akhirnya mengemis sana sini mencari belas kasihan investor. Memalukan dan membahayakan.
Memalukan karena menjadi tertawaan rakyat dan dunia, nafsu besar tenaga kurang. Membahayakan karena tanah tumpah darah diobral murah. Rakyat semakin susah sementara kapitalis sumringah.
Tawaran obralan menggiurkan bebas pajak 30 tahun diskon sampai 350 % mau pilih tanah yang mana saja. Belum memiliki aturan yang mendasarinya sudah cuap-cuap kemana-mana.
Ini ngurus negara atau jualan kaki lima. Jokowi ini Presiden atau Pasien. Pasien batuk-batuk bersuara berisik. Market Sounding IKN di Ballroom Jakarta Theater menjadi panggung teatrikal dagelan.
Mana investor Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab? Apa guna membawa Tony Blair jika investor Eropa geleng-geleng kepala. Softbank Group Corp sudah hengkang lebih dulu. Para investor tahu bahwa proyek IKN tidak rasional dan miskin dukungan rakyat.
Presiden Jokowi banyak dihujat karena programnya omong doang dan mau-maunya sendiri. Tidak smart. Jokowi panik ketika masa jabatannya terus bergerak memendek.
Proyek IKN diprediksi mangkrak bahkan berpeluang gagal, karena biaya akan terus membengkak di saat pertumbuhan ekonomi stagnan. Diprediksi awal anggaran 490 Triliun akan terus membengkak menjadi 1.470 Trilyun. Menyedot dana APBN akibat swasta yang “wait and see”.