Grasah-grusuh Pindah Ibu Kota
Kaltim diumumkan menjadi calon ibu kota baru. Presiden Jokowi telah menambatkan keputusannya pada Provinsi Kalimantan Timur. Lebih tepatnya di daerah kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara.
Ada empat alasan mengapa kawasan Kaltim ditunjuk oleh Jokowi sebagai ibukota baru. Menurutnya kawasan Kalimantan Timur memenuhi kriteria sebagai ibukota, yakni risiko bencana yang minim, memiliki lokasi strategis di tengah-tengah Indonesia, berdekatan dengan wilayah perkotaan yang sudah berkembang, yakni Balikpapan dan Samarinda.
Alasan lain yang dia kemukakan adalah memiliki infrastruktur lengkap dan tersedia lahan yang dikuasai pemerintah seluas 180 ribu hektare. Menurut keterangan Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), pembangunan ibu kota baru itu akan dimulai pada 2021. Target penyelesaian pembangunan gedung pemerintahan pada 2024. (Republika.co.id, 26/8/19). Beda Jokowi beda pula respon ASN. Menurut survei yang dilakukan Indonesia Development Monitoring, sebanyak 94,7 persen ASN menolak ibukota dan pusat pemerintahan dipindah ke Kalimantan.
Meski sempat mendapat kritikan dari publik dan pengamat politik, Jokowi kekeuh pindah ibukota. Alasannya karena beban Pulau Jawa terlalu berat, Jakarta sering banjir, macet, dan sebagainya. Alasan yang terlalu receh tentang ibukota. Jikalau Pulau Jawa terlalu berat bebannya, bagaimana dengan Kalimantan? Paru- paru dunia itu akan disulap bak kota metropolitan yang selama ini menjadi ikon Jakarta.
Lalu bagaimana pula dengan masalah teknis dan administrasi? Sudahkah diantisipasi? Memindahkan satu juta ASN itu tidak semudah mengirim paket barang ke Kalimantan. Dan yang lebih penting tentang biaya. Biaya pindah ibukota bakal menelan Rp 466 Triliun. Jangan sampai proyek pemindahan ibukota menjadi bancakan baru untuk membuka seluas-luasnya investasi asing. Belum lagi beban biaya ‘mengusung’ ASN. Tidak hanya memboyong manusianya tapi juga biaya hidup mereka. Ribet dah….
Rupanya pindah ibu kota seperti tak menjadi beban bagi Presiden. Pokoknya pindah. Meski diklaim sudah melakukan kajian mendalam. Apakah kajian mendalam itu sudah sampai memikirkan efek dan risiko jangka panjangnya? Apalagi ekonomi negeri ini sedang di ambang batas normal. Utang dimana-mana. Bunganya kemana-mana. Ojo grusa grusu. Jangan gegabah. Ambil keputusan itu ya pikirkan nasib rakyatnya. Bukan berdasarkan selera penguasa. Filosofi Jawa mengatakan, ’Dipikir sing tenang sak durunge mutusno, ojo grusa-grusu, mengko keliru”. Artinya, “pikirkan dengan tenang sebelum memutuskan sesuatu, jangan gegabah, nanti keputusannya keliru”.
Jika tujuan pindah ibu kota untuk pemerataan, Papua juga butuh pemerataan pembangunan dan ekonomi. Bahkan mereka lebih membutuhkan itu. Pulau paling timur Indonesia itu memang minim perhatian. Bahkan serasa terasing di negeri sendiri. Kesejahteraan belum mereka rasakan. Memperhatikan Papua yang sedang dirundung masalah disintegrasi justru lebih bijak ketimbang mengurus pindah ibukota. Itung-itung sebagai pembuktian kemenangan telak Jokowi di pilpres kemarin benar-benar berimplikasi pada masyarakat Papua.
Andaikata keputusannya benar masih beruntung kita. Namun, jika keliru, menyesal tiada guna. Rakyat pula yang menanggung derita. Seberapa besar jaminan pemerintah bahwa keputusan besar ini tak akan merugikan rakyat? Mengelola negara dengan sistem kapitalis liberal itu mengandung risiko tinggi. Sebab, tujuan negara tak lagi murni sebagai periayah. Negara sebatas regulator dan fasilitator. Sebagaimana pandangan good governance ala kapitalis. Proyek negara tak lebih sekadar business to business. Lebih untungkan pengusaha kapitalis. Fasilitas negara tak gratis.
Beda konsep dengan negara berbasis Islam. Negara hadir sebagai pelayan dan pengurus rakyat. Proyek negara dikerjakan untuk sebesar-besar kepentingan rakyat. Kekayaan alam dimanfaatkan demi mencukupi kebutuhan rakyat. Sayangnya, mereka yang ‘ngaku’ kerja untuk rakyat justru berkhianat pada rakyat. Diberi solusi Islam sebagai solusi tuntas permasalahan negeri malah tidak mau. Mungkin mereka masih kerasan dengan kapitalis liberal. Masih betah melihat kesusahan rakyat. Masih kuat dengan beragam musibah yang menimpa negeri ini. Padahal semua itu pertanda. Bahwa Allah Sang Maha Kuasa tak ridlo hambaNya terus berbuat mungkar.
Chusnatul Jannah
Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban