Guru, Sang Penjaga Keimanan
Kehidupan yang hedonis telah menggilas siapa pun yang mudah tergoda dengan gemerlapnya dunia, termasuk guru. Sibuk untuk meladeni gaya hidup telah mencabut kedudukan guru dari posisi pigur teladan bagi siswa. Suasana persaingan pernak-pernik materi lebih kental dibandingkan persaingan untuk meningkatkan kompetensi guru. Ini sangat memiriskan hati. Hingga ketika ada oknum guru non muslim mengajak siswa yang muslim ikut ritual keagamaan non muslim pun, guru yang lain tidak tahu.
Masuk kelas hanya untuk menuntaskan materi pelajaran. Sampai kantor sibuk dengan penilaian dan tugas administrasi. Jarang terjadi interaksi antar rekan guru. Jika pun terjadi, pembicaraan masih seputar permasalahan individu, bukan Dengan siswa pun terkadang kurang akrab. Yang ibu guru, sampai di rumah, tugas rumah tangga pun menanti. Yang Bapak guru, terkadang sibuk menyalurkan hobi ketika pulang dari sekolah.
Memanglah tak semua guru seperti itu, masih banyak guru yang kompetensi kepribadian dan sosial nya baik, ditandai dengan kehanifannya. Menjadi teladan bagi siswa lewat perbuatannya. Namun terkadang suara mereka tercekat ketika hendak mengajak kebaikan dan mencegah kemungkaran. Hal tersebut dikarenakan gencarnya isu radikalisme dan intoleransi. Guru pun khawatir jika dilabeli berpemikiran radikal. Khawatir pula terjebak pada sikap intoleransi. Lebih khawatir lagi berujung dengan jeruji besi, sebagai mana yang sudah-sudah. Akhirnya, guru hanif pun hanya bisa melawan dengan hati, yang padahal itu adalah selemah-lemahnya iman.
Namun kita patut bersyukur, masih ada pula di antara guru yang hanif tadi yang mampu bersuara. Selain menjaga diri senantiasa terikat dengan hukum syara, ia pun menyampaikan kebenaran Islam, meskipun terkadang ada yang tersinggung. Karena sejatinya, dakwah itu menyampaikan yang harus mereka dengar, bukan menyampaikan apa yang mereka suka. Guru seperti ini bisa dengan tegas menyampaikan larangan mengikuti perayaan agama lain. Faham bahwa makna toleransi dalam Islam adalah membiarkan pemeluk agama lain beribadah sesuai dengan keyakinannya, bukan mengikuti. Toleransi dalam Islam pun tidak mengucapkan selamat atas perayaan agama lain, karena hal tersebut bisa merusak aqidah seorang muslim.
Dulu, di masa jahiliyah, kaum Quraisy Mekkah memiliki tradisi saling merayakan acara keagamaan yang berbeda keyakinan. Hingga ketika Rasulullah saw. diutus membawa risalah Islam, agama yang mulia ini, mereka menawarkan kepada Rasulullah untuk sama-sama merayakan agama mereka. Mereka mengajak Muhammad saw. untuk menyembah Tuhan mereka. Mereka juga bersedia untuk menyembah Tuhan Muhammad saw. Demikian ajakan mereka pada Rasulullah saw. Dan turunlah surah Al-Kaafirun untuk menjawab ajakan para kafir Quraisy. Secara tegas Allah berfirman agar Rasulullah mengatakan kepada orang kafir Quraisy, bahwa Rasulullah tidak menyembah apa yang mereka sembah, dan mereka pun tidak menyembah apa yang Rasul sembah. Bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Artinya, mereka diperbolehkan saja beribadat sesuai dengan kepercayaannya. Karena di dalam ayat yang lain Allah berfirman yang artinya: “Tidak ada paksaan dalam beragama”. Meskipun ada konsekuensi logis ketika seseorang memilih Islam, yaitu terikat dengan hukum syara. Salah satu hukum syara tersebut adalah tidak mengucapkan selamat dan mengikuti peribadatan agama lain, namun tidak melarang mereka beribadat. Demikianlah toleransi dalam Islam.
Kembali kepada guru hanif aktivis dakwah. Keberadaan sang guru akan semakin berarti jika ditopang oleh sebuah sistem yang benar-benar menjaga aqidah umat. Dan sistem itu hanyalah sistem Islam. Sistem yang mampu menjaga ketakwaan individu, masyarakat sekaligus negara. Media informasi pun terkondisikan oleh negara untuk menjaga akidah ummat. Landasan aqidah dalam pelaksanaan hukum syariat oleh negara, telah menghadirkan toleransi beragama yang tiada banding. Wallaahu a’lam.
Mahrita Julia Hapsari, M.Pd
Guru di Banjarmasin