JEJAK SEJARAH

Habib Haidarah Al-Hinduan, Pelopor Tarekat Alawiyah Naqsyabandiyah Muhsiniyah di Kalteng

Di Indonesia ada banyak sekali tarekat yang berkembang, salah satunya adalah Tarekat Naqsyabandiyah. Seperti tarekat-tarekat tasawuf lainnya, Tarekat Naqsyabandiyah juga menekankan pentingnya zikir sebagai cara untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Dengan begitu mereka meyakini bahwa dengan melakukan zikir secara teratur, maka seseorang dapat mencapai kesadaran spiritual yang lebih tinggi.

Tarekat Naqsyabandiyah sendiri pertama kali muncul pada abad ke-14 M di Turkistan. Pencetusnya bernama Muhammad bin Muhammad Baha’udin al-Bukhari, yang kemudian mendapatkan gelar Syah Naqsyaband. Beliau dilahirkan pada 618 H dan wafat pada 719 H (Baits, 2014).

Tarekat ini cukup terkenal di dunia, bahkan dalam perjalannya tarekat ini berkembang menjadi beberapa sub tarekat, seperti misalnya Tarekat Alawiyah Naqsyabandiyah Muhsiniyah.

Tarekat Alawiyah Naqsyabandiyah Muhsiniyah

Menurut Martin Van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah sudah ada di Indonesia pada zaman penjajahan Belanda. Ulama yang pertama kali mengenalkannya adalah Syekh Yusuf Al-Makassariy pada 1626-1699.

Di Kota Pontianak Tarekat Naqsyabandiyah diketahui keberadaannya, terutama melalui cabangnya, yakni Tarekat Naqsyabandiyah Mudzhariyah pada tahun 1950-an, berkat kegiatan ulama dari Madura, yakni Syekh Fathul Bari. Syekh Fathul Bari adalah orang pertama yang mengunjungi masyarakat Madura di Kalimantan Barat sejak 1937.

Secara teratur ia terus mengunjungi masyarakat Madura di Kalimantan untuk memperkenalkan Tarekat Naqsyabandiyah Mudzhariyah. Pada akhir-akhir kehidupannya Syekh Fathul Bari terus mengirim pula khalifah-khalifahnya ke Kalimantan Barat sampai ia wafat pada Oktober 1960 (Bruinessen, 1992).

Pasca Wafatnya Syekh Fathul Bari, ajaran ini diteruskan oleh muridnya yang merupakan ulama asal Madura lainnya, yakni Habib Muhsin Al-Hinduan.

Habib Muhsin Al-Hinduan dilahirkan di desa Kepanjen, Kabupaten Sumenep Madura. Habib Muhsin mempelajari Tarekat Naqsyabandiyah dari guru pertamanya, yakni Kiai Sirajuddin, Syekh Fathul Bari, dan Kiai Ali Wafa.

Pada 1970 Habib Muhsin dianggap sebagai Ulama Kalimantan Barat yang paling luas pengetahuannya dan juga berpengaruh, bukan hanya di kalangan orang Madura yang tinggal di Kalimantan, tetapi umat muslim lainnya.

Pasca wafatnya Habib Muhsin Al-Hinduan, Tarekat Naqsyabandiyah mengalami transformasi di tangan anaknya, yakni Habib Haidarah bin Muhsin Al-Hinduan. Habib Haidrah sebagaimana ayahnya juga menjalankan tarekat, namun tarekat yang ia pelopori bernama Tarekat Alawiyah Naqsyabandiyah Muhsiniyah.

Habib Haidarah Al-Hinduan merupakan santri Darul Musthafa, Tarim, Yaman, pimpinan Habib Umar bin Hafidz. Setelah menyelesaikan pendidikannya, pada awal 2000-an Habib Haidarah pergi berdakwah ke Kalimantan Tengah di desa Basirih Hilir untuk menyebarkan Tarekat Alawiyah Naqsyabandiyah Muhsiniyah.

Adapun penamaan tarekat ini, adalah penggabungan antara tasawuf Alawiyah Al-Faqih Muqaddam Muhammad bin Ali Ba’Alawi di Hadramaut. Dengan Tarekat Naqsyabandiyah yang dinisbatkan kepada Muhammad Bahauddin an-Naqsyabandi.

1 2Laman berikutnya
Back to top button