Hadapi Kemajuan Iptek dengan Imtak
Hanya Allah SWT yang mengetahui awal dan akhir dari kehidupan manusia serta makhluk lainnya. Demikian hakikat kehidupan dunia.
Allah SWT berfirman:
اِعْلَمُوْٓا اَنَّمَا الْحَيٰوةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَّلَهْوٌ وَّزِيْنَةٌ وَّتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِى الْاَمْوَالِ وَالْاَوْلَادِۗ
Ketahuilah bahwa kehidupan dunia itu hanyalah permainan, kelengahan, perhiasan, dan saling bermegah-megahan di antara kamu serta berlomba-lomba dalam banyaknya harta dan anak keturunan. (Q.S. Al-Hadid: 20)
Sebagai contoh kecil, besi adalah salah satu kekayaan bumi yang ditemukan oleh manusia dan memiliki manfaat sekaligus mudarat. Besi menjadi bermanfaat jika digunakan untuk hal-hal positif, seperti membuat kerangka bangunan yang memungkinkan manusia membangun rumah sebagai tempat berlindung dari panasnya matahari dan dinginnya hujan, serta menjaga privasi.
Selain itu, besi juga dapat dimanfaatjab untuk membangun masjid, sekolah, atau bangunan lain yang mendukung aktivitas positif. Namun, besi dapat menjadi mudarat jika disalahgunakan, seperti menciptakan senjata tajam untuk melukai atau membunuh, serta tindakan lain yang melanggar hukum dan norma agama.
Hal serupa juga berlaku pada hasil perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ia memiliki dua sisi: dampak positif (manfaat) dan dampak negatif (mudarat).
Dampak positif muncul ketika teknologi digunakan untuk hal-hal bermanfaat, sepertu menambah pengetahuan agama dan dunia, menyambung silaturahmi, berdakwah, atau menyebarkan ilmu yang berguna.
Sebaliknya, dampak negatif muncul jika teknologi tidak digunakan dengan bijak, seperti melakukan kejahatan yang melanggar norma agama dan hukum, menyebarkan informasi palsu, melanggar privasi, atau mengakses konten yang merusak akal dan jiwa (seperti pornografi).
Pada akhirnya, manusia sendirilah yang menentukan apakh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi akan berdampak positif dan negatif. Allah SWT menganugerahkan akal kepada manusia sebagai potensi untuk mempertimbangkan dan memutuskan tindakan.
Namun, akal saja tidak cukup untuk membimbing manusia menuju kebenaran. Diperlukan pondasi yang kokoh dalam jiwa, yaitu iman kepada Allah SWT, yang telah menjadi fitrah manusia sejak awal penciptaannya.
وَاِذْ اَخَذَ رَبُّكَ مِنْۢ بَنِيْٓ اٰدَمَ مِنْ ظُهُوْرِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَاَشْهَدَهُمْ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْۚ اَلَسْتُ بِرَبِّكُمْۗ قَالُوْا بَلٰىۛ شَهِدْنَا
(Ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari tulang punggung anak cucu Adam, keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksiannya terhadap diri mereka sendiri (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Q.S. Al-A’raf: 172)