Haji, Paradoks Persatuan Umat

Semarak lebaran haji memang tak seramai lebaran Idulfitri, namun perbedaan tanggal dimulainya bulan Dzulhijjah juga hari Arafah menjadi pembicaraan yang cukup meramaikan perayaannya.
Momen haji ini memang seyogyanya menjadi momen persatuan yang bisa menyatukan umat Islam sedunia, karena hari Arafah dan menyembelih kurban sama persis dengan yang dilakukan para haji di tanah haram.
Mengapa masih saja mengalami perbedaan? Apakah hal ini layak menjadi perdebatan hanya karena faktor cuaca dan wilayah teritorial?
MABIMS (Menteri-Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) didirikan pada 1988 untuk menyatukan penentuan awal bulan hijriah, khususnya Idul fitri dan Idul adha, guna memperkuat solidaritas umat Islam di Asia Tenggara. Namun, perbedaan penetapan Idul adha 1446 H/2025—Indonesia pada 6 Juni dan Malaysia pada 7 Juni—mengungkap kelemahan organisasi ini (suaramuhammadiyah.id, 1/6/2025)
Gemuruh wilayah Timur-Tengah karena banyaknya konflik seperti genosida di Palestina hanyalah upaya dan bagian dari rencana Barat dalam membingkai umat Islam agar memikirkan diri sendiri dengan sekat nasionalisme. Penjajah berhasil menaklukkan negeri-negeri Muslim dengan tanpa peperangan, bahwa wilayah ‘perang’ di Timur-Tengah disebabkan karena perang saudara atau isu kemanusiaan semata. Padahal semata-mata Barat menginginkan umat Islam terpecah belah. Terlebih di wilayah yang tempatnya jauh dari Timur-Tengah, seperti Asia.
Persatuan umat hanya akan menjadi paradoks dalam ibadah haji, namun terus bersimbah darah dalam perpecahan di kehidupan nyata. Betapa menyedihkan dan memalukan, umat Islam di Timur-Tengah khususnya Palestina telah banyak berkorban bahkan nyawanya sendiri untuk menjaga tanah suci umat Islam. Lalu, masihkah umat Islam di bagian wilayah lain dengan santai menengahi perang ini dengan solusi two nation state (solusi dua negara)? Sungguh, Muslim yang baik tidak akan jatuh dalam perangkap yang sama.
Rasulullah Saw sudah memperingatkan dalam khutbahnya saat Haji Wada’, “Wahai segenap manusia! Sesungguhnya Tuhanmu adalah Esa (Satu), dan nenek moyangmu adalah satu. Semua kamu berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah. Tidak ada keutamaan bagi orang Arab atas orang yang bukan Arab melainkan dengan takwa itulah. Dan jika seorang budak hitam Abyssinia sekalipun menjadi pemimpinmu, dengarkanlah dia dan patuhlah padanya selama ia tetap menegakkan Kitabullah.”
Oleh sebab itu, tidak ada perbedaan antara bangsa yang satu dengan bangsa yang lain jika mereka memiliki akidah yang sama, yaitu akidah Islam. Dan Islam akan kuat saat mereka bersatu seperti satu tubuh.
Sebagaimana sabda Rasulullah Saw, “Perumpamaan kaum Mukmin dalam hal kasih-sayang, saling mencintai dan saling membantu adalah seperti satu tubuh. Jika satu anggota tubuh sakit maka seluruh tubuh akan merasakan demam dan tidak bisa tidur,” (HR Muslim). Maka sudah tidak heran, jika Muslim Palestina adalah saudara dengan Muslim di Indonesia atau Malaysia.
Jika siapa saja sesama Muslim meminta pertolongan dalam membela agama, maka wajib menolongnya. “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka adalah bangunan yang kokoh.” (QS ash-Shaff [61]: 4)
Sayangnya, persatuan sejati hanya dapat terwujud dalam kepemimpinan global (Khilafah), yang menyatukan umat dalam satu tubuh dan tujuan. Momen Iduladha ini seharusnya bisa memberi pemantik untuk bertakwa hanya kepada Allah SWT bukan pada penjajah dengan melaksanakan syariat Islam, bukan hanya pada aspek ritual saja, tapi juga dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.[]
Alin Aldini, S. S., Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok