MASAIL FIQHIYAH

Halal, Haram, dan Syubhat: Polemik Baki MBG dalam Tinjauan Islam

Hadits ini merupakan salah satu hadis yang menjadi pokok landasan Islam. Oleh karena itu, Imam Al-Gazālī menjadikan persoalan memperoleh makanan dan minuman yang halal sebagai salah satu pondasi agama Islam (uṣūl al-dīn). Beliau mengatakan dalam Kitāb al-Arba’īn Fī Uṣūl al-Dīn, bahwa mengkonsumsi makanan yang baik (ayyib) memiliki pengaruh yang besar terhadap pembersihan dan pencerahan hati, serta pembersiapkannya untuk menerima pengetahuan.

Terdapat istilah “alāl[an]-ayyib[an]” dalam Islam. Istilah ini terdapat di dalam Al-Quran dalam konteks makanan dan menggunakan yang terhampar di muka bumi. alāl adalah sesuatu yang diperbolehkan oleh agama untuk mengambil, melakukan, dan mengonsumnya. Sesuatu yang halal terdiri dari empat jenis, yaitu: wajib, sunnah/anjuran, makruh, dan mubah.

Kemudian ayyib[an] yang secara bahasa merupakan lawan kata dari buruk, kotor, dan menjijikan, adalah sesuatu yang menyenangkan panca indera dan jiwa, serta jauh dari keburukan dan kotoran. Sesuatu (makanan atau minuman) yang thayyib adalah yang mengundang selera, tidak kotor atau kedaluwarsa, tidak bercampur dengan najis, tidak membahayakan kesehatan akal, fisik, dan jiwa, dan memiliki gizi yang cukup dan seimbang.

Dengan demikian, yang dimaksud dengan makanan dan minuman yang berpengaruh terhadap kondisi hati dan jiwa—sebagaimana dijelaskan Imam Al-Gazālī—adalah makanan dan minuman yang bersifat halal dan ṭayyib (halal serta baik). Penjelasan ini sejalan dengan makna penggalan hadis Nabi Saw.:

Ketahuilah, di dalam tubuh terdapat segumpal daging; apabila ia baik, maka baiklah seluruh tubuh; dan apabila ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati.”

Hadis tersebut menunjukkan bahwa baik atau buruknya perilaku seseorang sangat ditentukan oleh kondisi hatinya. Lebih jauh, kondisi hati itu sendiri sangat dipengaruhi oleh apa yang dikonsumsi. Apabila seseorang mengonsumsi makanan dan minuman yang halal-thayyib, maka hatinya akan terjaga dalam kebaikan, yang pada gilirannya akan melahirkan akhlak mulia dan perilaku terpuji. Sebaliknya, apabila yang dikonsumsi bersifat haram atau tidak baik, maka hati akan rusak, dan kerusakan hati tersebut akan tercermin dalam perilaku yang buruk.

Hukum Mengkonsumsi Makanan atau Minuman dalam Wadah yang Terkontaminasi Najis

Secara bahasa najis adalah sesuatu yang dianggap kotor. Sedangkan secara istilah, ia adalah setiap benda yang haram untuk dikonsumsi bukan karena kehormatannya, bukan pula semata-mata karena dianggap kotor, dan bukan pula karena bahayanya bagi tubuh atau akal.

Najis dibagi menjadi dua macam, yaitu: najis ‘ainiyyah dan najis ukmiyyah. Najis ‘ainiyyah adalah najis yang dapat ditangkap oleh panca indera, atau najis yang terdapat rupa, bau, dan rasanya. Najis ukmiyyah adalah kebalikan dari najis ‘ainiyyah, yaitu najis yang sifatnya i‘tibārī (ketetapan hukum) yang apabila najis ini melekat pada anggota tubuh seseorang atau benda yang dibawanya dalam salat, maka salat tidak sah.

Baik najis ‘ainiyyah maupun najis ḥukmiyyah, dibagi lagi menjadi najis mugallaẓah (najis berat), mukhaffafah (najis ringan), dan mutawassiṭah (najis sedang). Najis mugallaẓah adalah najis anjing, babi, serta apa yang lahir dari keduanya atau dari salah satunya.

Najis mukhaffafah adalah air kencing bayi laki-laki yang belum makan selain susu sebagai makanan pokoknya dan belum genap berusia dua tahun. Najis mutawassiṭah adalah selain najis mugallaẓah dan mukhaffafah, seperti air kencing, kotoran, dan darah.

Setiap jenis najis, apapun macam dan bentuknya, wajib disucikan agar ibadah seorang muslim, khususnya salat, tetap sah. Prinsip utama dalam penyucian najis adalah menghilangkan terlebih dahulu wujudnya, yaitu rupa, bau, dan rasa yang melekat. Setelah itu, cara penyuciannya ditentukan oleh jenis najis yang menempel.

Apabila najis tersebut termasuk najis mugallaẓah (najis berat), maka penyuciannya dilakukan dengan mencuci atau mengguyur bagian yang terkena najis sebanyak tujuh kali menggunakan air suci, dan salah satunya harus dengan tanah yang suci. Apabila najis tersebut termasuk najis mukhaffafah (najis ringan), maka cukup disucikan dengan memercikkan air pada bagian yang terkena najis.

Sedangkan apabila najis tersebut termasuk najis mutawassiṭah (najis pertengahan), maka penyuciannya dilakukan dengan mencuci atau mengguyur bagian yang terkena najis menggunakan air suci, dan minimal dilakukan satu kali basuhan yang sempurna.

Merujuk pada isu penggunaan baki MBG serta informasi yang tersedia, dapat diasumsikan bahwa baki tersebut mengalami kontaminasi minyak babi pada saat proses pembentukannya, kemudian minyak tersebut dibersihkan sebelum produk dipasarkan.

Dalam perspektif fikih, minyak babi termasuk dalam kategori najis mughalazhah (najis berat). Oleh karena itu, apabila proses pembersihan yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan penyucian najis mughalazhah sebagaimana dijelaskan dalam fikih—yaitu mencuci atau mengguyur sebanyak tujuh kali dengan air suci, salah satunya menggunakan tanah suci—maka baki tersebut tetap berstatus terkena najis ukmiyyah. Konsekuensinya, sebelum digunakan oleh konsumen muslim, baki tersebut wajib disucikan sesuai tuntunan syariat, yakni dengan cara mengguyurnya tujuh kali menggunakan air suci, dan salah satunya dengan tanah suci.

Laman sebelumnya 1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button