Halalbihalal dan Silaturahim Idulfitri
Mencari padanan kata “Halalbihalal” dalam Kamus Bahasa Arab manapun, pasti sulit menemukannya. Meskipun kata halal original berasal dari bahasa Arab sebagai lawan kata dari haram.
Al-Qur’an berulang kali menyebut kata halal dalam konteks ayat yang berbeda, baik dalam bentuk kata kerja misalnya yahillu (QS.4 :19), uhilla (QS.2 :187), ahalla (QS.2 : 275), maupun kata sifat (mashdar) misalnya halaalan thayyiban (QS.2 : 168 ), hillun lakum (QS.5 : 5), namun tak ada hubungannya dengan istilah halalbihalal.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) halalbihalal dimaknai sebagai sebuah istilah yang mengandung arti : Hal maaf memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan, yang biasanya diadakan disebuah tempat oleh sekelompok orang.
Makna seperti ini boleh jadi menimbulkan persepsi yang kurang baik. Bahwa halalbihalal di hari lebaran adalah ajang saling maaf memaafkan. “Akh…..belum waktunya memaafkan…nanti saja setelah lebaran baru ada maaf bagimu”
Padahal Allah Subhaanahu wa ta’ala memerintahkan kepada kita untuk bersegera mencari ampunan dari Rabb (QS.3 : 133, 134, 135). Ayat-ayat tersebut secara gamblang menjelaskan tentang sifat dan ciri orang-orang bertaqwa.
Allah azza wa jalla memuji orang-orang bertaqwa yang bersegera mengakui dosa dan kesalahannya dan segera bertaubat memohon ampun kepada Allah. Maka merekalah yang layak menjadi penduduk surga karena telah memperoleh maghfirah dan ampunan dari Allah. (QS.3 : 137)
Akan tetapi taubat mereka tidak mungkin diterima oleh Allah, bilamana perbuatan dosa yang dilakukan menyangkut hak-hak Bani Adam. Oleh karena itu jika dosa dan kesalahan yang dilakukan berdampak pada kerugian dan kesengsaraan hidup yang diderita banyak orang, maka pelaku kezaliman berkewajiban segera minta maaf kepada semua orang yang dizalimi dan dicurangi.
Dan bilamana hak-hak tersebut berkaitan dengan materi atau harta maka segera dikembalikan kepada yang berhak menerimanya, tanpa perlu menunggu datangnya acara halalbihalal.
Istilah halalbihalal sebagaimana diungkapkan dalam KBBI, adalah sebuah tradisi yang tumbuh dan berkembang dari zaman ke zaman dalam masyarakat Islam Indonesia. Acara kegiatan semacam ini tidak ada dalam tradisi bangsa Arab, karena itu tidak dikenal dan dimengerti istilah halalbihalal.
Konon tradisi ini berkembang sejak abad ke 18 masehi dirintis pertama kali oleh Mangkunegara 1 lahir tgl 6 April 1725, yang terkenal dengan julukan Pangeran Sambarnyawa. Pertemuan Iedul Fitri ini diadakan di balai istana dalam upacara sungkeman sebagai lambang penghormatan dan permohonan maaf.
Kamus Theodore Pigeaud (1899-1988) yang disusun oleh seorang ahli sastra Belanda, Theodore Pigeaud, Kamus Bahasa Jawa- Belanda ini disusun sejak tahun 1926 atas perintah Gubernur Jendral Hindia Belanda. Kamus yang terbit pada 1938 ini sudah terdapat kata “Halalbihalal” yang disebut sebagai tradisi lokal (Tribun News edisi Mei 20-22).
Persepsi halalbihalal yang tak se-iring dan sejalan dengan perintah Allah dalam surat Ali Imran ayat 133-135 tersebut mendorong beberapa pihak merubah dan menggantikannya dengan istilah lain seperti Liqa’ Syawwal, Haflah Iedul Fitri, Silaturrahim Iedul Fitri dan lain sebutan.