Hanya Ada Dua Macam: Hukum Kosmetik dan Hukum Rimba
Sejak Rabu kemarin (30/12/2020), banyak sekali tulisan, cuitan, status, dlsb, yang intinya menilai pembubaran Front PI sebagai tindakan yang bertentangan dengan hukum. Tidak sesuai dengan prinsip “due process of law”.
Pembubaran itu tidak mematuhi hukum. Alias, sewenang-wenang. Begitu penilaian banyak orang.
Sebetulnya, respon masyarakat terhadap pembubaran Front PI lewat SKB enam menteri, sangat bagus sekali. Publik masih menerikakkan mana proses hukum? Kenapa penguasa bertindak sesuka hati? Masyarakat bilang, Pemerintah melanggar UU ini dan itu. Pemerintah zalim, dst.
Ini menunjukkan bahwa warga negara Indonesia ini, khususnya pihak yang terlindas kesewenangan, masih berpegang teguh pada hukum. Masih taat hukum. Memang seperti itulah seharusnya.
Luar biasa orang Indonesia. Ketika penguasa mengumumkan pembubaran Front PI, spontan khalayak bertanya: mana proses hukumnya? Artinya, masyarakat ingin agar semua tindakan penguasa memiliki landasan hukum. Bersyukurlah kita bahwa rakyat masih tetap menghormati hukum.
Cuma, yang perlu diingat ialah bahwa respon yang taat hukum, untuk saat ini, kelihatannya salah alamat. Reaksi yang bagus itu seharusnya ditujukan kepada para penguasa yang menjunjung tinggi asas taat hukum juga.
Di situ kekeliruannya. Anda menyangka pengelolaan negara ini sudah sesuai dengan hukum yang disusun dan disetujui oleh rakyat. Padahal, mereka menggunakan hukum yang mereka buat sendiri, yaitu hukum yang lahir dari kesewenangan.
Kalau pun mereka ada menyebutkan UU yang jadikan landasan, itu semua mereka perlakukan seperti kosmetik di wajah. Sebagai dandanan saja. Tentu Anda tahu kosmetik itu bisa dihapus, ditipiskan, ditebalkan, diukir, dicampur, dlsb. Inilah hukum kosmetik. Merah di bawah mata, biru muda di atas alis, tebal di bagian borok, tipis di bagian hidung.
Jadi, teriakan-teriakan tentang penguasa melanggar hukum, pastilah terdengar aneh di telinga mereka. Sebab, mereka merasa apa saja yang mereka lakukan itu sudah sesuai dengan hukum kosmetik.
Selain hukum kosmetik, ada lagi hukum rimba. Titah para penguasa menjadi putusan tertinggi yang harus dilaksanakan. Sebagai ‘rule of law’. Kalau penguasa ingin supaya sebuah organisasi diberangus, atau mereka ingin agar seseorang maupun kelompok orang dilenyapkan, maka keinginan itu langsung menjadi pasal-pasal hukum yang wajib ditegakkan.
Kalau para penguasa ingin agar orang ini dan orang itu masuk penjara, walau tak punya landasan hukum, maka akan dicarikan pasal-pasal yang bisa menjerat orang itu. Tidak ada protes. Tidak ada pembelaan yang diterima. Yang berlaku adalah aturan di hutan rimba.
Begitulah hari ini. Hanya ada dua hukum: yaitu hukum kosmetik dan hukum rimba.[]
31 Desember 2020
Asyari Usman
(Penulis wartawan senior)
Sumber: facebook asyari usman