LAPSUS

Hasbara dengan Gemerlap: Politik Kenikmatan Israel

Dari Sun City di masa apartheid hingga Woodstock di era Perang Vietnam, rezim kolonial dan imperialis selalu menggunakan hiburan untuk menutupi kebrutalan. Hari ini, parade kebanggaan Israel, budaya wisata, dan festival trance (pesta musik besar) berfungsi dengan cara yang sama.

Hasbara (Propaganda) dengan Gemerlap

Menjaga pesta ini tetap hidup, secara harfiah, adalah proyek nasional. Selama puluhan tahun, Israel mengucurkan jutaan dolar untuk memproyeksikan dirinya sebagai tempat kenikmatan.

Ambil contoh Brand Israel. Diluncurkan pada 2006, itu adalah rekayasa ulang citra negara, menukar pos pemeriksaan dengan bikini dan pantai.

Inisiatif ini dimulai ketika diplomat Ido Aharoni mengumpulkan tim papan atas, termasuk perwakilan firma PR seperti Burson-Marsteller, terkenal karena membersihkan citra junta Argentina dan Union Carbide setelah bencana Bhopal. Seperti diakui Aharoni, tujuannya bukan menjadikan Israel benar, tetapi menarik. Dengan “pencuci reputasi” paling kejam memimpin, jelas kesopanan pun bukan bagian dari agendanya.

Salah satu aksi pertama Brand Israel adalah pemotretan majalah Maxim untuk pandangan laki-laki Amerika berjudul “Women of the Israeli Defence Forces”, menampilkan pemenang “Miss Israel” Gal Gadot dalam lingerie. Jika muncul tahun 2025, mungkin kita akan menyebutnya: “kolonialisme pemukim bikin ‘thirst trap’ (konten yang sengaja dibuat untuk memancing perhatian atau ketertarikan seksual orang lain)”.

Ketika itu mulai pudar, Brand Israel menukar lingerie dengan parade kebanggaan. Pada 2011, Dewan Pariwisata Israel menghabiskan sekitar 100 juta dolar untuk memasarkan Tel Aviv sebagai “destinasi liburan gay”.

Pinkwashing sejak itu menjadi kebijakan negara, dan kilauan glitter (serbuk berkilau) masih menempel di Tel Aviv. Ia melukis Israel sebagai modern dan menarik, serta Palestina sebagai kolot, menjual fantasi bahwa Israel melindungi kaum ‘queer’ Palestina. Seperti ditulis Elias Jahshan, ini trik kolonial yang rapi: bom dibungkus kertas pelangi, atau hari ini, dengan warna minoritas regional mana pun yang Israel gunakan untuk menabur perpecahan.

Menari di Atas Tulang

Kupas habis pesta, parade, dan festival, maka muncul kebenaran: Israel telah menjadikan pencarian kebahagiaan sebagai senjata politik. Dan ini bukan yang pertama—Afrika Selatan di masa apartheid melakukan hal yang sama dengan tur kriket dan Sun City, menjadikan hiburan sebagai kedok bagi kekuasaan kolonial.

Kini di Goa, seperti di tempat lain, warga lokal mengeluhkan turis Israel, dengan seluruh ‘thread di Reddit’ membicarakan rasa privilese mereka. Mereka mengatakan orang Israel memperlakukan kesenangan sebagai hak lahiriah, sebagaimana mereka memperlakukan Palestina sebagai sesuatu yang memang seharusnya milik mereka.

Saya juga menyaksikannya. Saat tinggal di dekat French Hill, sebuah permukiman ilegal Israel di sebelah kamp pengungsi Shu’fat di Yerusalem Timur yang diduduki, saya mendengar orang Israel, kesal oleh konsekuensi pendudukan mereka sendiri, berulang kali berkata: “Kenapa kita tidak bisa sekadar bersenang-senang?”

Kalimat itu—sering diucapkan dengan aksen Amerika pura-pura—menangkap perkembangan terhenti masyarakat Israel: mendambakan perdamaian sambil berperang, menuntut kesenangan sambil menghapus orang lain. Kegembiraan, seperti halnya negara itu sendiri, menjadi sistem apartheid. Kesenangan hidup disediakan bagi satu kaum, ditahan dari kaum lain, lalu dijajakan ke dunia sebagai pelarian yang tampaknya tak berbahaya.

Afrika Selatan di era apartheid punya Sun City. Amerika punya Woodstock saat napalm dijatuhkan di Vietnam. Israel punya Goa dan Tel Aviv Pride. Mereka mengklaim kegembiraan mereka membuktikan ketidakbersalahan mereka. Tapi kegembiraan yang dibangun di atas tulang orang lain bukanlah kegembiraan, dan tak akan bertahan. []

Sumber: AL JAZEERA

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button