NUIM HIDAYAT

Hati-Hati terhadap Kekuasaan

Kekuasaan itu indah. Kekuasaan itu enak. Itu kata banyak orang. Beda dengan Rasulullah Saw. Rasul mengingatkan bahaya kekuasaan. Kekuasaan yang tidak dijalankan dengan amanah, maka bisa menyebabkan orang itu masuk neraka. Kekuasaan yang hanya menumpuk kekayaan diri dan partainya, menyepelekan rakyat adalah dosa besar.

Rasul berpesan tentang kekuasaan, “Sesungguhnya kalian akan berambisi untuk mendapatkan kekuasaan, padahal kekuasaan itu akan menjadi penyesalan pada hari Kiamat. Kekuasaan itu enak di awalnya (dunia) seperti bayi yang diberi asi ibunya, namun tidak bagus di akhirnya (akhirat) seperti bayi yang disapih.” (HR Bukhari).

Kekuasaan bagi orang awam memang enak. Bagaimana tidak. Kemana-mana ada yang ngawal, duit tinggal ngambil, anak buah banyak, tepuk tangan selalu didapat dan lain-lain. Apalagi bila jadi presiden, kesehatannya selalu diperhatikan, makanannya paling enak, puji-pujian selalu didapat dan lain-lain.

Tapi bagi orang alim, kekuasaan adalah berat. Kekuasaan adalah amanah yang besar. Maka diantara sahabat Rasulullah, karena begitu berat amanah kekuasaan itu maka lebih baik menjadi hewan saja, yang tidak ada pertanggungjawabannya di akhirat.

Kebanyakan manusia mengaitkan kekuasaan dengan pertanggungjawaban di dunia. Jarang manusia yang mengaitkan kekuasaan ini dengan akhirat atau kehidupan setelah dunia. Jarang mereka yang kuasa ingat bahwa setelah mati mereka akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah tentang kekuasaannya. Apakah ia telah menggunakan kekuasaannya dengan benar? Apakah ia telah melaksanakan hukum Allah? Apakah ia telah menerapkan hukum Allah? Apakah ada orang miskin yang mati kelaparan, karena tidak ia perhatikan? Apakah ada orang yang mati karena tidak bisa berobat karena tidak punya uang? Apakah kekayaan negara telah ia bagi rata (adil), atau kekayaan negara hanya untuk para pejabat saja sehingga jutaan rakyatnya menjadi miskin?

Pertanyaan-pertanyaan rumit akan diberikan kepada para pemimpin itu di hari hisab (hari perhitungan di akhirat). Maka jangan heran, para sahabat tidak mau berebut kekuasaan. Kecuali setelah masa Ali bin Thalib, beberapa orang mulai berebutan kekuasaan.

Lihatlah sikap Ali bin Abi Thalib yang tidak mau berebut kekuasaan. Mungkin Ali paling pandai dan alim di antara para sahabat setelah meninggal Rasulullah, tapi Ali tidak mau berebut masalah kepemimpinan. Ali membiarkan para sahabat bermusyawarah soal kepemimpinan (khalifah). Ali mengakui kepemimpinan Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan. Sayidina Ali bekerjasama dalam pemerintahan dengan mereka. Ketika Sayidina Utsman terbunuh, baru Ali mau jadi pemimpin. Itupun ia sanggupi setelah para sahabat bermusyawarah mufakat mengangkatnya.

Banyak orang ingin jadi pemimpin, tapi setelah memimpin ia menyia-nyiakan amanah yang diberikan Allah dan masyarakat kepadanya. Ia mendahulukan kepentingan keluarga daripada rakyatnya, ia mendahulukan kepentingan organisasi/partai daripada masyarakatnya, ia mendahulukan kepentingan kawan-kawan daripada rakyatnya, ia dan partainya menumpuk kemewahan, ia memusuhi tokoh-tokoh Islam yang lurus, ia tidak bisa mengerem nafsu seksnya, ia tidak bisa mengerem nafsu hartanya dan lain-lain. Karena tingkah lakunya yang memuakkan itu akhirnya setelah ia lengser dari kepemimpinannya, rakyat mencibir dan benci kepadanya.

Itu baru balasan yang ia dapatkan di dunia. Di akhirat pemimpin yang zalim lebih berat lagi hisabnya. Ia akan ditanyai rinci tentang kepemimpinannya.

Karena beratnya masalah kepemimpinan ini, maka beberapa ulama ‘menghindar’ untuk menjadi pemimpin. Para ulama ini takut hisab yang berat di hari kiamat nanti. Mereka menyerahkan kepemimpinan umat ini kepada mereka yang berkemampuan dan para ulama cukup menjadi penasihatnya.

Meski berat masalah kepemimpinan ini, tapi umat tetap butuh adanya pemimpin. Mereka butuh pemimpin sekelas Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Muhammad al Fatih, Shalahuddin al Ayyubi dan lain-lain.

Umat butuh pemimpin yang seperti Rasulullah Saw. Pemimpin yang membuat damai para pengikutnya. Pemimpin yang zuhud terhadap dunia. Pemimpin yang membuat suku-suku yang suka berperang, menjadi suka damai. Pemimpin yang membuat perempuan menjadi manusia yang dihormati. Pemimpin yang berhasil membuat budaya ilmu di masyarakat. Pemimpin yang menggiatkan dunia tulis menulis. Pemimpin yang meninggikan akal dan akhlak mulia. Pemimpin yang menjadi teladan dalam seluruh kehidupannya. Pemimpin yang menggiatkan sedekah, zakat dan wakaf. Pemimpin yang memerangi ekonomi riba. Pemimpin yang sangat peduli terhadap kaum kafir miskin. Pemimpin yang mementingkan ‘jihad dan dakwah’. Pemimpin yang sangat menghargai nyawa manusia. Pemimpin yang mengajak manusia ke jalan Allah (Islam), bukan ke jalan Iblis (sombong dan kejam). Pemimpin yang mengajak ke ‘jalan cinta/kasih sayang kepada manusia’. Pemimpin yang bervisi jauh, sampai ke akhirat. Pemimpin yang mengingatkan akhirat lebih utama dan kekal daripada dunia. Pemimpin yang menjadikan Al-Qur’an sebagai hukum individu, keluarga, masyarakat dan negara. Pemimpin yang mengajak manusia ke surga bukan ke neraka.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button