Heran, Kok Masih Ada Wacana Pemimpin Non-Muslim!
Presiden Jokowi membuka peluang akan presiden non muslim. Menurutnya, adalah wajar di dalam negara demokrasi (www.demokrasi.co.id, 9 Maret 2020).
Selanjutnya oleh Ngabalin dikonfirmasi bahwa Ahok yang layak untuk menjadi pemimpin di ibukota baru. Pernah jadi gubernur, manajerial bagus, semangat dan sehat, menjadi alibi untuk menguatkan dukungannya pada Ahok. Bahkan Ngabalin mengutip ayat 8 Surat al Maidah untuk menguatkan pembelaannya. Di samping itu, ia menyindir mereka yang menolak Ahok. Jika Ahok yang jadi, kenapa mereka yang marah, yang demam dan meriang. Begitu kurang lebihnya.
Memilih pemimpin apalagi bagi sebuah negara adalah perkara yang besar. Melalui kekuasaannya, ia memiliki segala kewenangan. Oleh karena itu, jalan yang paling mudah untuk menguasai sebuah kaum adalah melalui kepemimpinan atas kaum tersebut.
Boleh saja yang dijadikan alasan sistem yang establish adalah demokrasi. Syarat agama calon pemimpin tidak menjadi ukuran utama. Di dalam demokrasi siapapun asalkan sesuai aspirasi rakyat akan menjadi pemimpin.
Alasan sistem demokrasi, tidak bisa diterima. Realitasnya, Indonesia ini adalah negeri dengan penduduknya mayoritas muslim. Maka wajar bila ada penolakan terhadap wacana kepemimpinan non muslim.
Suara umat Islam di Indonesia adalah suara mayoritas. Masuk akal bila suaranya yang didengar. Yang tidak masuk akal adalah memaksakan kepemimpinan non muslim di tengah negeri Indonesia. Ini yang namanya tirani minoritas atas mayoritas.
Memang di London, Shadiq Khan yang muslim berhasil menjadi wali kota. Jelas masyarakat London mayoritasnya non muslim, akan tetapi memilih Shadiq Khan.
Sesungguhnya terpilihnya Shadiq Khan bukan semata karena kemuslimannya. Lebih karena sosok Shadiq Khan yang bisa bertoleransi dan inklusif dengan nilai-nilai kebebasan barat. Shadiq Khan yang menyetujui perkawinan sejenis. Ia juga menolak untuk memboikot Israel. Tentunya sosok Shadiq Khan akan dijadikan ikon teladan sebagai sosok muslim yang inklusif. Sosok yang demikianlah lantas diiklankan sebagai muslim terbaik di era modern.
Ditambah lagi dalam pandangan Islam, umat Islam tidak boleh menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai wali. Lafaz wali di sini tercakup di dalamnya masalah kepemimpinan. Allah swt menegaskan di dalam firman-Nya:
Sekali kali Allah tidak akan memberikan jalan bagi orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.
Sedangkan kekuasaan merupakan jalan yang paling kuat guna menguasai. Maka haram menyerahkan kepemimpinan itu kepada non muslim.
Benar bahwa sistem kenegaraan saat ini bukan sistem Islam, tapi demokrasi. Sesungguhnya keharaman memilih pemimpin non muslim itu adalah hukum yang tetap berlaku, baik ada maupun tidak ada sistem Islam. Alasannya karena perbuatan seorang muslim itu wajib terikat oleh hukum- hukum Islam.
Bisa jadi ada yang beralasan bahwa pemimpin yang muslim pun belum tentu Indonesia menjadi maju dan makmur. Akan tetapi jangan berat sebelah. Di negeri yang mayoritasnya non muslim pun juga mengalami ketidakadilan dan penindasan. Padahal pemimpinnya adalah non muslim.
Gerakan Occupiy Wall Street tahun 2011 di AS. Mereka menentang korupsi dan ketimpangan ekonomi yang terjadi. Mereka berteriak “We Are 99 persen.” 99 persen penduduk mengalami kemiskinan. Sedangkan 1 persen penduduk menguasai ekonomi negara.
Bukti lagi. Di tengah wabah Corona dewasa ini, ribuan warga China mengajukan ijin tinggal terpaksa di Indonesia. Mereka tahu persis, Indonesia yang notabenenya negeri muslim lebih menghargai nyawa manusia dibandingkan negaranya yang Komunis. Jadi mereka merasa lebih aman berada di Indonesia, di tengah komunitas muslim.
Jadi persoalannya bukan hanya terletak pada sosok individu pemimpinnya, Muslim atau tidak. Lebih dari itu, sistem kenegaraan yang bagaimanakah yang dijalankannya.
Pada konteks Indonesia, sistem kenegaraannya bukan dari Islam, ditambah lagi wacana sosok pemimpinnya non muslim. Jadinya, tidak tersisa sedikitpun kebaikan bagi umat Islam di negeri ini.
Adapun mengenai ayat ke-8 surat al Maidah yang artinya: “Wahai orang yang beriman, jadilah kalian orang – orang yang menegakkan hukum Allah dan saksi – saksi dengan adil. Dan janganlah kebencian kalian pada suatu kaum menjadikan kalian untuk tidak berbuat adil. Berlakulah yang adil karena keadilan itu wujud dari ketakwaan. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah mengetahui apa apa yang kalian kerjakan.”
Sifat adil lawan lawan dari zalim. Sifat adil merupakan sikap menempatkan sesuatu pada tempatnya. Dalam Islam, sifat adil adalah menetapi sesuai dengan hukumnya.
Rasul Saw sendiri sebenarnya masih menaruh rasa sakit hati terhadap Hindun binti Utbah, lantaran penyincangan atas mayat Hamzah oleh Hindun. Akan tetapi Hindun binti Utbah telah menyatakan dirinya bertaubat dan masuk Islam. Tentunya Rasul Saw harus menetapi hukum bahwa Islam itu menghapus keadaan yang di masa lalu setelah bertaubat. Jadi bersikap adil itu adalah konsistensi terhadap hukum Islam, karena seorang muslim diwajibkan untuk menegakkan hukum Allah dengan benar.
Termasuk dalam hal memilih pemimpin non muslim hukumnya haram, maka tergolong bersikap adil jika menetapi hal tersebut. Bukan dengan berbagai dalih berusaha mengaburkan hukum haramnya memilih pemimpin non muslim.
Karena sifat adilnya inilah, umat Islam disebut Allah sebagai ummatan wasathan (umat pertengahan). Ummatan wasathan bermakna umat yang terbaik. Makna demikian bisa dipahami dari firman Allah yang menyebut Shalat Ashar sebagai shalat wustha (shalat pertengahan), maksudnya sebagai shalat yang terbaik. Indikasinya untuk shalat Ashar ini ada perintah tersendiri untuk menjaganya. Di samping secara umum ada perintah untuk menjaga shalat lima waktu.
Begitu pula, terpilihnya pemimpin non muslim adalah bencana bagi umat Islam. Bukankah di masa Ahok jadi gubernur Jakarta, syiar-syiar Islam menjadi dibatasi? Bukankah pada masanya, tidak diadakan takbir keliling untuk menghidupkan malam Idul Fitri? Bukankah ia yang menista Surat al Maidah ayat 51? Bukankah ia memerintah dengan tangan besi main gusur? Bukankah ia yang terjerat kasus korupsi pengadaan Bus TransJakarta dan RS Sumber Waras?
Ainul Mizan
Pemerhati Sosial Politik, tinggal di Malang