OASE

Hidup Bersinergi seperti Mata, Tangan, dan Kaki

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat menghindari interaksi dengan sesama. Dalam kehidupan sehari-hari, kita saling bergantung satu sama lain, baik sebagai individu, anggota kelompok, maupun bagian dari masyarakat. Namun, relasi antarmanusia tidak selalu berjalan mulus. Gesekan, salah paham, bahkan konflik seringkali muncul, justru dari perbedaan karakter dan cara pandang. Perbedaan itulah yang seringnya menjadi ujian terbesar dalam menjalin hubungan.

Wajar jika dalam suatu hubungan, kita menemui orang yang menyebalkan, egois, atau sulit diajak untuk bekerjasama. Namun, apakah semua itu dapat dijadikan alasan untuk menyalahkan mereka? Ataukah hal ini bisa dijadikan tanya pada diri sendiri, “Mengapa saya mudah kesal terhadap orang lain? Mengapa bekerjasama terasa begitu sulit?” Pertanyaan ini bukan untuk menyalahkan, tetapi untuk mengajak kita melakukan sebuah refleksi diri.

Filsuf Stoik, Marcus Aurelius, pernah menuliskan refleksi menarik tentang bagaimana seharusnya kita menyikapi manusia lain. Ia menyadari bahwa orang-orang yang ia temui dalam hidupnya mungkin usil, arogan, bahkan curang. Namun, ia tidak menyalahkan mereka, karena ia memahami bahwa tindakan negatif seringkali lahir dari ketidaktahuan, bukan dari niat jahat semata. Pemahaman ini lahir dari kesadaran akan batas-batas kendali diri.

Menurut Aurelius, setiap manusia pada dasarnya mempunyai unsur akal dan sisi ketuhanan. Namun, tidak semua orang mampu mengenali atau mengolahnya dengan baik. Karena itulah, menghadapi perilaku buruk seharusnya bukan dengan amarah atau kebencian, melainkan dengan pemahaman dan pengendalian diri. Kita tidak bisa mengendalikan orang lain, tetapi kita bisa mengendalikan cara merespons mereka. Di sinilah letak kebijaksanaan.

Aurelius juga menggunakan analogi yang sangat sederhana namun mendalam: hubungan manusia itu seharusnya seperti hubungan antara mata, tangan, dan kaki. Masing-masing memiliki fungsi berbeda, tetapi bekerja dalam satu kesatuan tubuh. Saat satu bagian terluka, bagian lain segera membantu, bukan menyalahkan. Kita diciptakan bukan untuk saling menjatuhkan, tetapi untuk saling menopang.

Dalam Islam, prinsip sinergi ini ditegaskan dalam firman Allah SWT, “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujurat: 10).

Ayat tersebut menjadi pengingat bahwa hubungan antar sesama manusia seharusnya dilandasi oleh semangat persaudaraan, bukan permusuhan.

Konflik dalam masyarakat maupun dalam diri sendiri kerap terjadi karena egoisme, minimnya empati, atau luka sosial yang belum sembuh. Jika dibiarkan, semua itu akan menjauhkan kita dari harmoni. Maka, kita perlu membiasakan sikap reflektif: mengganti reaksi dengan pemahaman, mengganti perlawanan dengan kerjasama, dan memperkuat kesadaran bahwa kita adalah bagian dari tubuh sosial yang sama. Ini bukan hal yang instan, tetapi bisa dilatih.

Seringkali, kita ingin orang lain berubah demi kenyamanan kita. Padahal, kenyamanan yang sebenarnya justru lahir saat kita mampu berdamai dengan kenyataan. Kita tidak bisa memaksa dunia menjadi seperti yang kita mau, tetapi kita bisa menata batin agar tidak mudah terombang-ambing oleh dunia. Marcus Aurelius mengajarkan, bahwa ketenangan sejati berasal dari dalam diri, bukan dari perubahan di luar.

Dalam salah satu kutipannya, Marcus Aurelius menulis: “Orang-orang yang berhubungan denganku hari ini, ada yang usil, tidak sopan, arogan, curang, iri hati, dengki. Kami dilahirkan untuk bekerjasama seperti kaki, tangan, dan mata. Saling menghalangi itu tidak alami, demikian pula marah dan saling membelakangi.”

Kutipan ini menekankan pentingnya pemahaman dalam kehidupan sosial. Pesan dari kutipan tersebut begitu jelas bahwa sinergi tidak memerlukan keseragaman, tetapi membutuhkan saling pengertian. Sama seperti gigi atas dan bawah yang bisa bekerja sama saat kita mengunyah, manusia pun bisa hidup berdampingan meski berbeda arah dan cara. Kita diciptakan berbeda agar bisa saling melengkapi. Bukan untuk bersaing siapa yang lebih unggul, tetapi untuk bersinergi siapa yang bisa memberi lebih banyak manfaat.

Nabi Muhammad Saw, telah mencontohkan sikap memahami dan memaafkan orang lain. Dalam sebuah hadits beliau bersabda: “Orang yang kuat bukanlah yang pandai bergulat, tapi yang kuat adalah orang yang mampu menahan dirinya saat marah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button