Hilmar Farid, Dirjen Kebudayaan yang Pro Komunis
Ia lahir di Bonn, Jerman Barat pada 8 Maret 1968. Istrinya I Gusti Agung Putri Astrid Kartika seorang Katolik dan aktivis PDI Perjuangan. Pada 1993, ia menyelesaikan studinya di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia dengan judul skripsi “Politik, Bacaan dan Bahasa Pada Masa Pergerakan: Sebuah Studi Awal”. Dua tahun setelah lulus, pria penyuka musik ini kemudian mengajar di Institut Kesenian Jakarta selama empat tahun.
Ia menyelesaikan doktornya di National University of Singapore bidang kajian budaya pada bulan Mei 2014, dengan disertasi berjudul “Rewriting the Nation: Pramoedya and the Politics of Decolonization”.
Pada 1994, bersama beberapa seniman, peneliti, aktivis, dan pekerja budaya di Jakarta, ia mendirikan Jaringan Kerja Budaya dan menerbitkan bacaan cetak berkala Media Kerja Budaya. Ia juga aktif di Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang diketuai oleh Budiman Sujatmiko. PRD, adalah organisasi politik anak muda yang sangat anti Soeharto dan pro Komunis.
Hilmar memang pro komunis. Dalam twitternya, 5 Oktober 2020, Fadli Zon memampang foto dirinya yang pernah diskusi dengan Hilmar Farid. “Foto lawas Diskusi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB UI) sekitar Oktober 2010. Saya n Taufiq Ismail (penyair), dr sisi Manifes Kebudayaan (anti PKI), versus Martin Aleida (mantan wartawan Harian Rakjat/PKI) n Hilmar Farid (aktivis PRD, kini Dirjen Kebudayaan) membela Lekra/PKI.”
Dalam Youtube di Javin TV, ia menyatakan:
”Basis keberadaan, legitimasi Orde Baru memang sejarah. Jadi dasarnya dia berdiri karena melakukan manipulasi sejarah, dimulai dengan peristiwa G 30 S, Gerakan 30 September yang ceritanya dikonstruksi sedemikian rupa sehingga terlihat bahwa paristiwa itu adalah kudeta oleh PKI. Dan kita tahu bahwa itu sama sekali tidak betul. Tidak ada dasar untuk mendukung argumentasi itu dan sesungguhnya di dalam studi-studi yang ada selama ini, persoalan itu sudah cukup terlihat. Tapi alasan kenapa Orde Baru sangat berkepentingan untuk mengontrol pemahaman masyarakat terhadap sejarah, ya karena basis pemahaman legitimasinya ya hanya itu. Orde Baru ketika dia muncul adalah menyelamatkan dia dari ancaman komunis. Itu klaim yang dia pakai. Kenapa dia bisa melakukan pembunuhan banyak orang, kenapa dia melakukan pembersihan di mana-mana, bahkan birokrasi, sehingga akhirnya Soekarno tersingkir, alasannya adalah untuk menyelamatkan Indonesia dari ancaman komunis. Jadi masuk akal begitu ketika harus menguasai pikiran orang banyak, titik tumpunya itu, titik pijaknya adalah PKI dengan menginjak PKI gitu maka seluruh narasinya mengenai sejarah itu jadi dibenarkan.
Dan memang menarik kalau misalnya wacana Orde Baru tentang sejarah, ada banyak sekali kontradiksi. Mereka begitu menggebu-gebu menggambarkan peristiwa 65, peristiwa Madiun 48 sebagai apalah kudeta komunis atau perbuatan buruk dari Partai Komunis Indonesia gitu, nah kebingungan kalau menghadapi pemberontakan 26 (1926). Pemberontakan 12 November 1926 mau digambarkan seperti apa gitu. Kalau dianggap sebagai pemberontakan komunis itu pemberontakan yang bener kok, melawan kolonialisme. Jadi bagaimana pemberontakan terhadap kolonialisme juga mau dianggap sebagai kesalahan. Nah narasinya bisa kita lihat, dalam banyak sekali itu bolongnya kelihatan. Justru karena mereka mencoba meniadakan peran dari gerakan kiri, komunis di dalam sejarah Indonesia dan harga yang mereka bayar ya itu memang masuk dan terjebak dengan kontradiksi-kontradiksi semacam itu. Dari segi produksi pengetahuan sejarah itu dari hulu hingga hilir dikuasai oleh Orde Baru. Dan ada banyak produk-produk lain seperti museum, film, juga drama.
Dulu di sekolah-sekolah itu pelajaran PSPB, Pelajaran Sejarah Perjuangan Bangsa itu ada sosiodrama namanya, dimana anak-anak itu harus mementaskan cerita yang dibuat Orde Baru sendiri mengenai kekejaman di Lubang Buaya. Kita tahu dari banyak studi seperti visum terhadap korban yang dibunuh itu, bahwa cerita yang dibuat Orde Baru dan kemudian menyebar itu tidak betul. Bahwa jenderal tidak ada yang dipotong kemaluannya, matanya tidak dicungkil, tapi di sekolah-sekolah murid bukan hanya diminta menghapal tapi akan memerankan peristiwa penyiksaan jenderal dan penculikan itu. Jadi produksi pengetahuan, menurut istilah saya itu, dari hulu sampai hilir betul-betul dikendalikan. Dan seandainya ada tafsir yang alternatif sifatnya, yang digunakan mekanisme pelarangan. Jadi represi. Bukunya dilarang, kadang-kadang penulisnya diperiksa ditangkap, kalau perlu dipenjarakan dan yang jelas di ruang publik tidak ada kesempatan bagi orang untuk mengemukakan pikirannya sendiri. Apalagi kalau itu bertentangan dengan penguasa Orde Baru. Jadi mesin-mesin yang digunakan itu mulai dari pendidikan, sampai kepada peralatan represif itu tadi.”
Baca juga: Soal PKI, Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid Dituding Mau Belokkan Sejarah
Hilmar memang dalam sejarah hidupnya pro komunis (PKI) dan pemerintah saat ini memberikan keleluasaan padanya untuk mewujudkan ide-idenya. Pada 31 Desember 2015, Presiden Jokowi melantiknya menjadi Direktur Jenderal Kebudayaan yang baru, menggantikan Kacung Marijan. Saat dilantik, Hilmar masih menduduki jabatan komisaris di PT Krakatau Steel (Persero).
Maka tidak heran bila dalam penyusunan Kamus Sejarah Indonesia jilid 1, dimana Himar duduk sebagai Dewan Pengarah, tokoh-tokoh komunis diungkap dengan ‘nada positif’. Di buku itu ditampilkan biografi ringkas Darsono, DN Aidit, Henk Sneevliet dan Samaoen.
Baca juga: Kemendikbud Akui Hilangnya KH Hasyim Asy’ari dalam Kamus Sejarah Indonesia Adalah Kesalahan
Mengenai tidak dimuatnya KH Hasyim Asyari dalam Kamus Sejarah Indonesia itu, Hilmar menyatakan tidak sengaja. Ia menyatakan bahwa naskah kamus itu sebenarnya belum rampung, tapi kemudian sudah dimuat dalam website resmi Rumah Belajar. Kini naskah kamus itu sudah ditariknya atau diturunkan dari website.
Hidayat Nur Wahid mengritik Kamus ini, karena memuat tokoh-tokoh komunis, tapi tidak memuat tokoh-tokoh Islam seperti KH Hasyim Asyari, Mohammad Natsir, Sjafrudin Prawiranegara dan lain-lain. Di samping itu Kamus ini juga memuat penjelasan PKI secara panjang lebar, tapi tidak memuat sejarah penting organisasi Islam, Jong Islamieten Bond.
Baca juga: Pentingkan Tokoh PKI Ketimbang Islam, HNW Minta Kamus Manipulatif Sejarah Ditarik
PKI pun digambarkan dengan datar dan tidak ada penyebutan PKI membunuh para kiai atau santri (1948) dan membunuh para jenderal (1965). Lihatlah uraian dalam Kamus Sejarah Indonesia itu di alinea akhir, “Pada 17 September PKI terdesak oleh Divisi Siliwangi dan PKI mengambil posisi di Madiun. Pada 18 September PKI merebut tempat-tempat strategis di daerah Madiun dan membunuh tokoh-tokoh pro pemerintah, dan mengumumkan melalui radio bahwa pemerintah front nasional telah terbentuk tanggal 19 September 1948 sekitar 200 anggota PKI yang berada di Yogyakarta ditangkap. PKI setelah peristiwa Madiun sudah dihancurkan oleh pemerintah Indonesia namun tidak dilarang. PKI dalam pemilu tahun 1955 mampu menempati posisi empat besar di bawah PNI, Masyumi dan NU. PKI mulai mendapat angin setelah demokrasi terpimpin mulai diterapkan dengan terus mendukung Soekarno. Pada 30 September 1965 PKI diduga terlibat dalam gerakan kudeta. Setelah peristiwa G30S tersebut kader-kader PKI menjadi sasaran pembantaian di berbagai daerah. PKI secara resmi dilarang di Indonesia pada 12 Maret 1966 berdasarkan TAP MPRS Nomor 25 tahun 1966.”
Walhasil, Hilmar memang ingin PKI menjadi pahlawan atau korban bukan pendosa. Ia ingin membelokkan sejarah Indonesia, yang menurutnya dibuat oleh Orde Baru. Ia lupa bahwa PKI dan Orde Lama juga membuat kesalahan besar, menyingkirkan tokoh-tokoh Islam yang berintegritas dari perpolitikan nasional. Orde Baru memang juga membuat kesalahan, karena Orde Baru awal pembentukannya dikelilingi oleh tokoh-tokoh CSIS. Mereka juga menyingkirkan ‘umat Islam’ dari pemerintahan. Kini Hilmar dan pemerintah Jokowi nampaknya mengulanginya. Wallahu azizun hakim. []
Nuim Hidayat, Penulis Buku Imperialisme Baru.