Hitam Putih Dedi Mulyadi

Kelemahan dan Kritik yang Kerap Muncul:
- Kebijakan Top-Down & Normatif. Aturan jam malam, atau penyeragaman jam sekolah dianggap sebagian warga terlalu instruktif dan tidak selalu berbasis kajian pedagogis menyeluruh.
- Simbolisme vs Prioritas Teknis. Kritik menyebut fokus pada patung dan estetika ruang publik dikhawatirkan menutupi kebutuhan infrastruktur dasar lain; meski pendukungnya menolak dikotomi tersebut.
- Blak-blakan & Potensi Salah Tafsir. Retorika spontan, humor budaya, dan pemaknaan simbol (misal metafora “menikahi Nyi Roro Kidul”) berujung pada polemik di masyarakat Jawa Barat yang mayoritas Muslim.
- Sorotan Kehidupan Pribadi. Konflik rumah tangga yang terekspos media (gugatan cerai, urusan nafkah) dianggap sebagian publik mencoreng citranya sebagai pemimpin keluarga teladan.
- Isu Overlapping Wewenang. Aksi sosial personal saat menjabat legislator dinilai sebagian LSM sebagai melampaui atau tumpang tindih kewenangan formal. Ia pernah dilaporkan ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).
- Polarisasi Identitas. Penguatan simbol budaya lokal yang keterlaluan, sehingga menimbulkan gesekan dengan nilai-nilai Islam yang telah membumi dalam masyarakat Sunda.
Kontroversi-Kontroversi Besar
Sejak awal memimpin Purawakarta, Dedi membangun puluhan patung tokoh wayang, legenda Sunda, bahkan figur sejarah nasional di ruang publik. Sebagian masyarakat menyukainya sebagai spot wisata, sebagian kelompok ormas menudingnya membuka pintu kesyirikan. Beberapa patung pernah dirusak atau dibakar oleh pihak tak dikenal. Dedi bersikukuh bahwa patung itu untuk estetika, kebahagiaan warga, dan pendidikan budaya -bukan untuk disembah. Ia pernah menerima penghargaan seni karena kepedulian budaya.
Upaya Dedi mempopulerkan salam khas Sunda “Sampurasun” memantik reaksi keras ketika Habib Rizieq Syihab (FPI) memelesetkannya menjadi “Campur Racun” dalam ceramah. Habib melihat Dedi ingin mengganti “Assalamualaikum” dengan “Sampurasun.” Tapi hal itu kemudian dibantah oleh Dedi, bahwa ia tidak ingin ‘menggantikannya tapi menyandingkannya’. Kasus ini mempertinggi suhu konflik hubungan Dedi-FPI dan memicu gelombang solidaritas budayawan Sunda.
Dedi dalam ceramah-ceramahnya kelihatan benci kepada Habib (bangsa Arab). Namun ia menolak kalau disebut ‘anti Islam’. Ia tidak suka bangsa Indonesia merendahkan diri dan memuja-muja bangsa lain.
Ketika menjadi bupati, Dedi menempatkan kereta kencana pusaka di Pendopo Kabupaten dan mengaraknya dalam event tahunan. Banyak umat Islam yang menuding Dedi telah berbuat musyrik, apalagi mempercayai dan ‘menikah’ dengan Nyi Roro Kidul.
Dedi menjelaskan, Nyi Roro Kidul disimbolkan sebagai kekuasaan dan keindahan lautan. Menikah dengan Nyi Roro Kidul, kata Dedi, punya maksud bahwa manusia harus melindungi, merawat dan mencintai laut beserta kekayaan yang ada di dalamnya.
Yang menarik, Dedi pernah membuat aturan yang membatasi aktivitas remaja larut malam, bertamu setelah jam tertentu, atau sanksi adat bagi pelanggarnya. Peraturan Daerah yang dibuat Dedi itu mendapat dukungan banyak masyarakat. Peraturan itu dikritik aktivis-aktivis kebebasan sipil.
Memasuki masa jabatan gubernur, Dedi membawa paket kebijakan yang mereplikasi eksperimen Purwakarta ke level provinsi: penyeragaman hari sekolah (Senin–Jumat), jam masuk lebih pagi (adaptif 06.30+), pembatasan aktivitas malam pelajar, serta dorongan integrasi budaya lokal dalam pendidikan. Ia juga cepat membuat gebrakan disiplin birokrasi (misal tindakan terhadap kepala sekolah terkait aturan studi wisata) dan menyoroti tata kelola fasilitas publik. Respons publik beragam—antara apresiasi ketegasan dan kekhawatiran beban implementasi.
Terakhir, kontroversi Dedi terkait dengan penggantian RSUD Al Ihsan menjadi RSUD Welas Asih. Polemik di media sosial saat itu antara yang pro dan kontra cukup lama, berhari-hari. Untuk menengahi hal itu akhirnya Dedi ‘mengalah’. Ia menamakan RSUD Welah Asih dengan simbol kaligrafi huruf Arab ‘Ar Rahman Ar Rahim’.
Dedi memang pintar membuat berita dan kontroversi. Ratusan ribu penggemarnya di Youtube setia memantaunya. Penghasilannya di media sosial ini diduga lebih dari 100 juta per bulan. Pendapatannya dari Youtube ini banyak digunakannya langsung untuk membantu masyarakat yang miskin di Jawa Barat.
Kini Dedi tersandung masalah lagi. Beberapa hari lalu ketika anaknya mengadakan pesta perkawinan di Garut, terjadi musibah. Tiga korban meninggal akibat masyarakat berdesak-desakan untuk menikmati makanan gratis di sana.
Akankah Dedi nanti akan menjadi aktor politik nasional atau berhenti jadi aktor politik daerah? Waktu yang akan menjawabnya. Wallahu alimun hakim. []
Nuim Hidayat, Direktur Forum Studi Sosial dan Politik