HNW Dukung Insan Film Hadirkan Karya Bernuansa Dakwah
Hal tersebut dengan jelas diatur dalam dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Ketentuan ini berbunyi, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.’
“Jadi, jelas bahwa selain Hukum dan Konstitusi di Indonesia melarang Separatisme, Komunisme, Terorisme, yang bisa jadi rujukan sensor, konstitusi Indonesia juga tidak menganut madzhab HAM yang bersifat liberal. UUD 1945 memberikan batasan nilai-nilai moral, nilai-nilai agama serta juga keamanan dan ketertiban umum yang harus menjadi rujukan setiap pelaku industri film di Indonesia, lembaga sensor maupun kesadaran untuk sensor mandiri,” tuturnya.
HNW menegaskan bahwa yang demikian itu, bukan berarti akan hanya menghadirkan pembatasan-pembatasan kreatifitas dalam seni perfilman, terbukti di Indonesia bisa menghadirkan film-film unggulan sekalipun tetap bernuansa keagamaan, dakwah dan diterima sangat baik oleh publik termasuk di kalangan milenial.
Misalnya film Ayat-Ayat Cinta bahkan menyabet sekaligus 5 penghargaan terbaik dalam Film Festival Bandung (2008), juga sinetron Para Pencari Tuhan, dinobatkan sebagai Sinetron Paling Ngetop Sepanjang Masa, karena terus bertahan selama 14 tahun dan tetap mendapat apresiasi tinggi bahkan penghargaan dari Jepang. Juga film Nussa, yang ditayangkan di Malaysia dan Korea Selatan, bahkan memenangkan Piala Citra 2021 sebagai film animasi terpanjang dan terbaik.
“Yang demikian itu, karena apabila memahami dan membaca Pancasila dan UUD 1945 secara baik dan benar, sejatinya nagama dan seni budaya Indonesia bisa berjalan beriringan bahkan saling menguatkan. Namun, sayangnya Pancasila dan UUD 1945 sering tidak dibaca dan dipahami secara historik dan utuh, sehingga ada sebagian pihak yang kerap membenturkan kebudayaan Indonesia dengan nilai-nilai agama dan sebaliknya. Seolah-olah Agama anti seni dan budaya, atau Agama (termasuk dalam produk film dan seni budaya) hanya hasilkan eksklusifisme, radikalisme, bias gender dllnya yang jauh dari nilai utama seni dan budaya,” jelasnya.
HNW mencontohkan tuduhan segelintir buzzer terhadap Film Nussa yang dinilai mengajarkan radikalisme atau eksklusifisme dan tidak sejalan dengan nilai budaya, antara lain karena pemeran utamanya; Nussa memakai gamis dan kopiah, dan Rara memakai jilbab. Bahwa penilaian itu bias pemahaman Agama dan relasinya dengan produk seni film, terbukti bagaimana film tersebut bahkan di tayangkan di Malaysia, dan secara spesifik disambut hangat oleh penonton Korea Selatan (negerinya DraKor). Film itu diundang untuk ditayangkan di Bucheon International Fantastic Film Festival ke 25, dari 8-18 Juli 2021.
“Dan di Indonesia, Film ini memenangi Piala Citra dengan kategori film animasi panjang terbaik, dengan penonton terbanyak. Jadi teruslah berkarya, hadirkan film-film berkualitas termasuk yang bernuansa Agama dan Dakwah Digital untuk Kaum Milenial yang tak mendikotomikan Agama dan Budaya, karena sebagaimana disebutkan diatas, keduanya bisa beriringan hadirkan produk film bernuansa dakwah yang unggulan,” pungkasnya.
red: adhila