HNW: Hentikan Framing Radikalisme ke Lembaga Pendidikan
Jakarta (SI Online) – Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid mengingatkan pentingnya membangun narasi yang menguatkan kohesi bangsa agar dapat mengatasi berbagai tantangannya. Baik karena dampak Covid-19, persaingan global maupun masalah separatisme yang bisa memecah kesatuan bangsa.
Apalagi, kata Hidayat, di bulan September, momen mengingatkan bangsa akan adanya dua kali pengkhianatan PKI terhadap pemerintahan yang sah dan kudeta pemberontakan mereka untuk gantikan ideologi Pancasila dengan Komunisme.
Karenanya Hidayat sependapat dengan sikap Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang meminta agar siapapun seperti Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko untuk menghentikan dan tidak melakukan framing radikalisme terhadap lembaga pendidikan.
Hal itu karena framing tanpa definisi yang benar dan tanpa bukti seperti itu malah bisa menimbulkan saling curiga dan memecahbelah generasi muda bangsa, yang ujungnya bisa melemahkan persatuan nasional.
“Saya setuju dengan Sekjen MUI KH Amirsyah Tambunan, bahwa penyebutan radikalisme tanpa bukti telah menyusup di lembaga-lembaga pendidikan harus dihentikan. Framing radikalisme dan penyebarannya di lembaga pendidikan seperti madrasah dan pesantren, harusnya ditolak. Karena selain tak ada bukti juga tak sesuai dengan fakta,” tegas Hidayat melalui keterangan tertulisnya kepada Suara Islam Online, Ahad (19/9/2021).
Apalagi di tengah kebijakan pemerintah yang mengapresiasi dunia pendidikan pesantren dengan menerbitkan Perpres No. 82 Tahun 2021 yang mengatur tentang dana abadi untuk pesantren.
“Semangatnya karenanya bagaimana menguatkan lembaga pendidikan termasuk madrasah, agar bisa menghadirkan prinsip beragama yang rahmatan lil alamin, menguatkan komitmen dan intelektualitas cinta Agama, Bangsa dan NKRI dengan menguatkan Bhinneka Tunggal Ika, sehingga terwujudlah tujuan pendidikan nasional sebagaimana dinyatakan dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 3 dan 5,” ujar Hidayat.
HNW, sapaan akrabnya, mengatakan bahwa framing tanpa bukti adanya radikalisme di lembaga pendidikan dan madrasah terasa ganjil, apalagi di saat terjadinya secara berulang sejumlah aksi radikalisme yang nyata terjadi di wilayah Indonesia.
“Ada ancaman radikalisme yang nyata membahayakan NKRI, seperti radikalisme separatis Papua yang tuntut Papua Merdeka dan terakhir membunuh prajurit 4 TNI, 1 tenaga kesehatan, menganiaya dan menista para Nakes, hingga membakar puskesmas, sekolah, pasar dan lainnya. Atau sikap kapal-kapal perang Tiongkok di Natuna yang lalu lalang di perairan Indonesia yang membuat para nelayan Indonesia ketakutan. Atau sikap intoleran kalangan radikalis islamofobia yang menista Al-Qur’an maupun Nabi Muhammad Saw,” jelasnya.
Apalagi, di bulan September seperti ini, dimana ingatan publik tersegarkan akan sejarah bangsa Indonesia yang juga mencatat radikalisme dua kali pemberontakan PKI pada September 1948 dan 1965.
“Seharusnya pemerintah fokus mengantisipasi dan mengatasi masalah-masalah di atas, agar sejarah radikalisme PKI yang mengancam eksistensi Pancasila sebagai ideologi negara dan bangsa, tidak berulang lagi. Bukan justru membelah bangsa dan umat Islam dengan isu jualan radikalisme di madarasah atau pesantren, yakni dua lembaga pendidikan yang sejak sebelum Indonesia merdeka sudah sangat berjasa dalam perjuangan kemerdekaan, termasuk dalam menjaga keutuhan dan eksistensi NKRI dan Pancasila dengan bersama TNI dll mengalahkan pemberontakan PKI, dan menyelamatkan Pancasila sebagai ideologi Negara,” katanya.
HNW menilai bahwa penting bagi pemerintah untuk memperkokoh sendi dan pilar persatuan nasional seperti dengan merangkul umat Islam untuk mengulangi kembali peran mereka dalam menjaga dan menyelamatkan Pancasila dan NKRI.
“Jadi, bukan malah menebarkan tuduhan yang meresahkan yang bisa memecah belah bangsa dan umat Islam, yang bisa melemahkan kohesi bangsa majemuk dan maritim ini, dan yang akan berdampak pada dirugikannya kepentingan nasional, dan itu bisa jadi pintu besar untuk bangkit dan menyebarnya berbagai ideologi radikalisme yang jelas-jelas bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 seperti neo kapitalisme, neo liberalisme, termasuk neo komunisme maupun radikalisme gerakan separatisme, yang semuanya membahayakan dan bertentangan dengan Pancasila dan NKRI,” pungkasnya.
red: adhila