HNW Kritik Rancangan Perubahan UU Sisdiknas yang Ciderai Pesantren
Jakarta (SI Online) – Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid mengkritik Rancangan perubahan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) yang mencederai Pesantren karena tidak mentaati UU Pesantren dengan hanya menyebutkan satu jenis pesantren di dalam Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), padahal UU Pesantren yang bersifat lex specialis telah mengakui dan memperluas jenis-jenis Pesantren.
HNW -sapaan akrabnya- merujuk kepada sejumlah ketentuan di dalam Rancangan Perubahan UU Sisdiknas, seperti Pasal 47, Pasal 74 dan Pasal 120, yang menyebutkan hanya pesantren yang berbentuk pengajian Kitab Kuning.
Padahal, kata HNW, apabila merujuk kepada UU No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, jelas disebutkan bukan hanya satu saja tapi ada tiga jenis pesantren.
Selain pesantren tradisional yang mengajarkan kitab kuning sebagaimana sudah disebut dalam RUU, tapi ada juga pesantren berbentuk pengajaran Dirasah Islamiah dengan Pola Pendidikan Mualimin dan juga Pesantren yang terintegrasi dengan pendidikan umum.
“Laku penyusun Rancangan Perubahan UU Sisdiknas ini tidak menjadi contoh yang baik dalam menaati aturan yang ada, dan kalau tidak dikoreksi dapat meredusir pengakuan negara terhadap jenis-jenis pesantren yang disebutkan di dalam UU Pesantren. Juga dikhawatirkan terjadi pembonsaian dan adu domba yang menciptakan kegaduhan di kalangan Pesantren yang sudah sama-sama menerima UU Pesantren. Karenanya sudah sangat seharusnya RUU ini dikembalikan kepada ketentuan yang benar dalam UU Pesantren,” kata HNW melalui pernyataan tertulisnya kepada Suara Islam, Rabu (31/8/2022).
Anggota Komisi VIII DPR RI yang membidangi urusan keagamaan ini mengutip Pasal 5 ayat (1) UU Pesantren. Ketentuan itu berbunyi, “Pesantren terdiri atas: a) Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk Pengkajian Kitab Kuning; b) Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk Dirasah Islamiah dengan Pola Pendidikan Mualimin; atau c. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk lainnya yang terintegrasi dengan pendidikan umum.”
“Memang, di dalam RUU Sisdiknas itu merujuk kepada UU Pesantren di berbagai penjelasannya. Namun, ironisnya malah hanya ada penyebutan secara spesifik terhadap salah satu jenis pesantren saja, dan itu dapat mengabaikan keberadaan dua jenis pesantren lainnya yang sama-sama diakui oleh UU Pesantren. Jadi, tidak sinkron dengan UU Pesantren, sehingga harus diperbaiki,” ujarnya.
HNW berharap agar Kemendikbudristek dapat segera mengkoreksi dan mengakomodasi masukan ini, seperti yang terjadi sebelumnya saat publik mengkoreksi draft RUU Sisdiknas yang menghilangkan penyebutan Madrasah dalam batang tubuh-nya dan hanya menyebutkannya dalam penjelasan.
“Awalnya ada wacana yang terbaca dari draft RUU Sisdiknas dari Kemendikbudristek yang menghapuskan madrasah dari RUU Sisdiknas. Tapi Alhamdulillah dengan adanya kritikan-kritikan publik dan penolakan termasuk dari PKS, wacana itu tidak direlisasikan. Kritik-kritik didengarkan dan sekarang madrasah tetap menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional yang eksplisit tetap disebutkan dalam batang tubuh RUU Sisdiknas, tidak hanya di dalam penjelasan,” tambahnya.
Selain berkaitan dengan koreksi terkait penyebutan semua jenis pesantren ini, HNW mengatakan ada beberapa poin yang perlu diperhatikan Kemendikbud karena menjadi catatan dan kritikan publik.
“Misalnya, terkait dengan hilangnya tunjangan profesi guru dan dosen serta tunjangan lainnya di dalam RUU Sisdiknas ini dan sudah dikritik oleh PGRI. Seharusnya tunjangan guru itu dieksplisitkan dan ditingkatkan, bukan malah dihapuskan, atau dibuat abu-abu,” ujarnya.