HNW: Radikalisme Tuduhan dari Penganut Islamofobia
Jakarta (SI Online) – Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW) menuturkan fakta bahwa selama satu bulan Ramadhan umat diajarkan untuk mempraktikkan ibadah murni dan kegiatan ibadah sosial semakin menunjukan bahwa agama Islam mengajarkan moderasi dan toleransi, bukan ajaran radikalisme atau ekstremisme yang selama ini dituduhkan para penganut Islamofobia.
“Kegiatan sosial yang dilakukan sebagai bagian ibadah di bulan Ramadhan mengoreksi pandangan para Islamofobia bahwa Islam itu anti-sosial, tidak bisa membaur, kerap mengkafirkan dan membidahkan,” ujar HNW saat menyampaikan tausyiah Ramadhan dalam kegiatan reses DPR dengan Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jakarta Selatan dan DPC PKS Kebayoran Lama di Jakarta Selatan, Ahad (02/5/2021).
HNW mengatakan, kegiatan sosial umat Islam di tingkat nasional bahkan secara kolosal di tingkat dunia justru telah menunjukkan wajah Islam sesungguhnya, yakni inklusif, bisa bergerak bersama dengan yang lain, menghadirkan beragama yang membantu dan menghormati orang lain dan mencintai kebersamaan.
Menurut HNW, selama ini agama Islam kerap menjadi sasaran serangan Islamofobia yang menuduh bahwa Islam itu radikal, ekstrem, teroris, eksklusif, intoleran dan lain sebagainya, dengan hanya melihat segelintir orang yang mengaku beragama Islam dan melakukan tindakan yang tercela.
“Seharusnya yang dilihat bukan perilaku segelintir orang yang tidak mencerminkan ajaran Islam itu, tetapi justru mayoritas umat Islam di dunia yang selalu berupaya berkontribusi kepada masyarakat,” tukasnya.
Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menuturkan bahwa ajaran Islam di bulan Ramadhan ini yang paling utama adalah berpuasa yaitu internalisasi nilai dan ideologi saling menjaga serta mengalahkan emosi, ego, dan hawa nafsu.
“Implementasi ini dalam konteks ibadah selama bulan Ramadhan, sudah dilakukan bukan hanya dalam tataran personal, tetapi juga ditunjukan dalam berbagai kegiatan sosial yang berskala nasional bahkan internasional,” ujarnya.
HNW mencontohkan selain berpuasa, selama Ramadhan juga ada kegiatan zakat yang mengajarkan saling peduli dan saling membantu kepada para rakyat miskin (dhuafa), takjil (hidangan buka puasa) di jalan yang mengajarkan tentang guyub dan rukunnya sesama warga, hingga tarawih-tarawih di masjid yang tidak lagi memiliki sekat-sekat di kalangan umat.
“Dengan pelaksanaan prokes Covid-19 yang ketat, masjid-masjid menyelenggarakan ibadah tarawih secara terbuka dan toleran, dimana yang datang sebagai jamaah adalah umat dari berlatar belakang ormas atau mazhab apapun. Ada yang shalat tarawih dan witir 23 rakaat dan ada yang 11 rakaat. Mereka tetap menjaga ukhuwah Islamiyah dan ukhuwah wataniyah,” jelasnya.
Menurut HNW, praktik beragama seperti ini merupakan tradisi yang telah dicontohkan oleh para founding fathers bangsa Indonesia sejak dulu. Dalam konteks sejarah, setidaknya ada banyak ajaran Islam dan peristiwa penting di dalam Islam yang melekat dalam sejarah bangsa Indonesia.
“Karena proklamasi Kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia itu ternyata juga dikumandangkan pada tanggal 9 Ramadhan 1364 Hijriah,” tuturnya.
“Itu penting dimaknai bahwa dengan Ramadhan, maka umat Islam dan bangsa Indonesia diingatkan peran menyejarah dan konstruktif umat Islam dalam menghadirkan dan menjaga Indonesia Merdeka, agar generasi sekarang tidak buta sejarah, dan terjebak pada Islamofobia maupun Indonesiafobia,” tambahnya.
HNW menegaskan bahwa pengalaman ibadah dan kegiatan sosial selama sebulan di bulan Ramadhan ini seharusnya bisa menunjukan bahwa Islam benar-benar agama praksis yang rahmatan lil alamin (rahmat untuk seluruh alam), sehingga dapat menjadi bekal untuk memajukan kehidupan Umat dan bangsa di bulan-bulan berikutnya, sehingga bertemu kembali dengan Ramadhan di tahun depan.
“Itu akan semakin bisa dilaksanakan dengan kerja sama yang baik antara seluruh komponen umat dan bangsa, baik yang di organisasi kemasyarakat Islam dan organisasi politik Islam maupun yang ada di parlemen,” jelasnya.
red: adhila