Hukum Indonesia Rusak karena Singkirkan Al-Qur’an

Indonesia 84% rakyat Muslim, tapi memakai hukum kafir Belanda. Para ahli hukum Islam terbelah. Sebagian memperjuangkan tegaknya hukum Al-Qur’an di Indonesia, seperti yang dilakukan para ahli hukum Masyumi. Sebagian pakar hukum yang lain menerima keadaan hukum Indonesia yang karut-marut ini. Mereka menyatakan ‘hanya hukum pidana’ yang tidak berlaku di Indonesia.
Yang menjadi masalah adalah sistem hukum itu sendiri. Filosofi sistem hukum itu. Sistem hukum Indonesia tidak dijiwai oleh Al-Qur’an. Mereka mendasarkan pada hukum Belanda. Sehingga bila ada masalah, tidak dikembalikan pada Al-Qur’an (dan as Sunnah sebagai penjelas Al-Qur’an). Karena itu jangan heran terjadi suap menyuap, saksi palsu, hakim dan jaksa serta pengacara yang rakus uang, bela yang bayar bukan yang benar, korupsi dan lain-lain. Hampir semua kejahatan ada pada sistem hukum kita. Karena yang dipakai hukum Belanda, maka tidak ada kesaklaran di sana. Semua boleh asal tidak ketahuan. Mereka tidak takut pada Allah Yang Maha Mengetahui, mereka takutnya pada manusia. Bila yang dipakai terus sistem hukum Belanda maka sampai kiamat Indonesia akan rusak sistem hukumnya.
Maka mau tidak mau untuk mengubah Indonesia menjadi hebat di masa depan, sistem hukum Indonesia harus diganti dengan sistem hukum Al-Qur’an. Tentu bukan hanya sistem hukumnya diganti. Manusia-manusia yang terlibat dalam hukum itu harus diupgrade. Mereka harus yakin bahwa sistem hukum Al-Qur’an yang diturunkan Allah Yang Maha Kuasa jauh lebih baik dari sistem hukum manusia. Hukum Al-Qur’an ada kepastian. Hukum Al-Qur’an ada kelegaan. Hukum Al-Qur’an ada keikhlasan.
Hakim yang menjalankan hukum Al-Qur’an, maka ia merasa mempunyai pegangan kuat dari langit. Yang dikejarnya adalah keadilan. Yang dikejarnya adalah fakta. Mana fakta yang benar dan mana fakta yang meragukan atau batil. Ia takut memutuskan hukum yang zalim. Ketakutannya bukan hanya kepada manusia, tapi kepada Allah Yang Maha Adil. Bila ia menghukum-mu perkara secara zalim, di akhirat nanti ia bisa dimasukkan dalam ‘neraka yang menakutkan’. Ketakutannya bukan hanya di dunia ini tapi juga di akhirat nanti. Hakim tidak berfikir pangkat. Ia hanya berfikir bagaimana memutuskan sesuatu secara sebaik-baiknya menurut hukum Allah (Al-Qur’an).
Beda dengan hakim yang memutuskan hukum buatan Belanda (manusia). Ia berfikir bagaimana agar nanti naik jabatan. Ia berfikir bagaimana agar menjadi kaya raya ketika menjadi hakim. Ia berfikir banyak hakim yang akhlaknya buruk, kenapa ia harus berakhlak baik. Tidak ada ketakutan kepada Allah Yang Maha Kuasa, tidak ada ketakutan kepada akhirat. Semua diukur dengan hukum dunia.
Pengacara pun pikirannya sama. Bagaimana mendapat uang sebanyak-banyaknya dari perkara yang ditanganinya. Hukum kan permainan kata-kata. Hukum kan permainan lidah. Saksi bisa dipermak, fakta bisa tidak ditampilkan atau disembuyikan sebagian dan lain-lain.
Jaksa pun sama. Fakta bisa dicari-cari, saksi bisa diada-adakan. Yang penting sang terdakwa dihukum. Tidak peduli, saksi itu kuat atau tidak.
Yang mengerikan bila ada pesanan hukum dari atas. Dari Jaksa Agung, Kapolri, Presiden dan semacamnya. Maka hukum bisa dibelok-belokkan menurut sang pemesan.
Itulah yang terjadi di kehidupan hukum negara kita yang hampir 80 tahun Merdeka. Hukum jadi permainan. Hukum menjadi alat untuk memburu kekayaan. Hukum menjadi alat untuk memburu kemewahan. Hukum menjadi alat untuk memburu popularitas. Hukum bukan untuk mencari keadilan. Hukum jauh dari keadilan.
Keadilan Hanya Bisa Bila Al-Qur’an Dijadikan Sumber Hukum
Lihatlah bagaimana Rasulullah membuat sistem hukum dengan cara menakut-nakuti para hakim yang zalim atau hakim yang bodoh. Rasulullah Saw bersabda,
القُضَاةُ ثَلَاثَةٌ: قَاضِيَانِ فِي النَّارِ، وَقَاضٍ فِي الجَنَّةِ، رَجُلٌ قَضَى بِغَيْرِ الحَقِّ فَعَلِمَ ذَاكَ فَذَاكَ فِي النَّارِ، وَقَاضٍ لَا يَعْلَمُ فَأَهْلَكَ حُقُوقَ النَّاسِ فَهُوَ فِي النَّارِ، وَقَاضٍ قَضَى بِالحَقِّ فَذَلِكَ فِي الجَنَّةِ
“Hakim itu ada tiga: dua di neraka dan satu di surga. Hakim yang memutuskan hukum dengan tidak benar, sedangkan ia mengetahuinya, maka ia di neraka. Hakim yang tidak mengetahui kebenaran (jahil), sehingga ia menghilangkan hak orang lain, maka ia pun di neraka. Hakim yang memutuskan hukum dengan kebenaran, maka ia di surga”. (HR. At-Tirmidzi).