Hukum Perceraian dalam Islam
Pernikahan adalah suatu akad (ijab dan kabul) yang memungkinkan hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang sebelumnya bukan muhrim. Ada hak dan kewajiban antara keduanya untuk tinggal bersama dan memiliki keturunan sesuai dengan hukum Islam.
Perikahan itu bisa dibilang sangat sakral di Indonesia, dan hanya dapat terjadi dengan persetujuan dari kedua belah pihak. Harapan semua orang dari pernikahan adalah dapat menikah dengan orang yang dicintai sekali seumur hidup. Tetapi tidak semua hubungan itu berjalan dengan mulus, setiap hubungan pasti ada saja cobaannya. Bagaimana mereka berakhir itu tergantung dari bagaimana mereka dapat melewati ‘badai’ tersebut, mereka akan dihadapkan dengan dua pilihan; memaafkan dan berbaikan kembali atau cerai.
Sifat perkawinan dalam Islam pun pada dasarnya adalah abadi sampai akhir hayat atau tak terceraikan. Akan tetapi, dalam keadaan yang sangat mendesak dan tidak ada jalan lain serta dengan alasan yang tepat perceraian dibolehkan. Rasul memperingatkan bahwa meskipun dibolehkan, cerai adalah perbuatan halal yang paling dibenci Allah subhanahu wa Ta’ala. (H.R. Abu Dawud).
Dalam Islam, cerai ada hukumnya; wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram.
Wajib
Perceraian wajib jika perceraian tersebut sudah disetujui dan ditetapkan oleh pihak kedua (sebagai juru damai) dari keluarga pihak suami dan pihak istri.
Dalilnya sebagaimana telah Allah SWT dalam Q.S. An-Nisa ayat 35:
“Jika kamu (para wali) khawatir terjadi persengketaan di antara keduanya, utuslah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika keduanya bermaksud melakukan islah (perdamaian), niscaya Allah memberi taufik kepada keduanya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti.”
Cerai juga wajib jika seorang suami sudah mengucap sumpah untuk tidak menggauli istrinya lagi. Jika setelah masa tunggu selama empat bulan sang suami tidak berubah pikiran, wajib baginya untuk menceraikan sang istri.
Dalilnya ada dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 226: “Orang yang meng-ila’ (bersumpah tidak mencampuri) istrinya diberi tenggang waktu empat bulan. Jika mereka kembali (mencampuri istrinya), sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Sunnah
Terkadang perceraian itu dianjurkan dalam beberapa keadaan, misalnya jika sang istri adalah wanita yang tidak bisa menjaga kehormatannya, atau dia adalah wanita yang meremehkan kewajibannya kepada Allah dan suami tidak bisa mengajari atau memaksanya untuk menjalankan kewajiban seperti sholat, puasa, atau lainnya.
Dalilnya, “Talak itu dilakukan karena kebutuhan” (H.R. Bukhari, dari ibnu ‘Abbas). Maksudnya, sebagaimana dikatakan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani ra, “Sesungguhnya tidak patut bagi lelaki mentalak istrinya kecuali dalam keadaan yang mendesak seperti karena nusyuz”.