Human Trafficking Bermodus Magang Coreng Dunia Pendidikan
Terbongkar tindak pidana perdagangan orang (TPPO) alias human trafficking bermodus magang ke Jepang tentu meresahkan.
Direktorat Tindak Pidana Umum Badan Reserse Polri, Akhir mei lalu, berhasil menyelamatkan beberapa mahasiswa yang dijadikan buruh ketika sedang magang di Jepang. Program magang ini dilakukan oleh salah satu politeknik di Sumatera Barat (Kompas, 27-6-2023)
Menurut laporan para mahasiswa yang menjadi korban, mereka bekerja selama 14 jam dari pukul 08.00 s.d 22.00 sepekan, tanpa libur. Mereka hanya mendapat upah Rp5 juta perbulan tapi harus menyetor ke kampus sebanyak Rp2 juta. Selama kerja mereka pun dilarang beribadah.
Padahal, mereka mengaku tertarik berkuliah di politeknik tersebut, karena ada program magang ke Jepang ini. Direktur Politeknik tersebut sekarang telah ditetapkan menjadi tersangka.
Ternyata, TPPO bermodus magang bukanlah hal baru. Mengutip Kompas (8/7/23) modus ini sudah terjadi sejak 15 tahun lalu. Biasanya korban adalah siswa SMK atau mahasiswa program magang. Sudah ada upaya dari Komnas HAM mendesak Kemendikbud untuk mengusut namun tidak berjalan karena kasus terus terulang.
Kasus ini tentu membuat masyarakat resah dan dilema. Disatu sisi, masyarakat (orang tua dan mahasiswa) memang punya keinginan dan tuntutan agar lekas bekerja, sehingga program magang tentu sangat menggiurkan. Tapi ternyata, program magang di kampus tidak luput menjadi modus TPPO.
Padahal, saat ini Magang dijadikan program resmi Kementrian Pendidikan dalam program kampus merdeka sebagai cara pembelajaran efektif agar mahasiswa lebih cepat terampil dan lebih cepat bekerja. Dengan kasus ini, dunia pendidikan jadi tercoreng dan mendapat perhatian. Pasalnya slogan kerja kerja kerja kembali ditunggangi oleh kepentingan kapitalis atau motif bisnis. Bukankan orientasi sistem pendidikan saat ini yang fokus untuk melahirkan buruh intelektual perlu dievaluasi?
Berbeda dengan sistem pendidikan Islam. Orientasi pendidikan bukan diukur sejauh mana lulusan itu mendapat kerja dan penghasilan tinggi, melainkan sejauh apa ilmu mereka bisa bermanfaat bagi umat. Kebermanfaatannya tidak diukur dengan jumlah penghasilan.
Dengan orientasi ini, institusi pendidikan tinggi khususnya, tidak akan berlomba menggaet mahasiswa dengan iming-iming cepat kerja, termasuk dengan program magang keluar negeri di dalamnya. Mahasiswa pun tidak akan mudah tergiur. Karena mereka akan belajar dengan spirit ibadah -sebagai salah satu kewajiban menuntut ilmu- mendorong dirinya untuk menjadikan ilmunya bermanfaat walaupun bukan dengan penghasilan tinggi sebagai kompensasinya.
Tentu ini didukung oleh sistem ekonomi islam yang akan menyejahterakan, serta sistem pendidikan Islam yang gratis dan berkualitas. Dengan demikian, Kasus TPPO bermodus magang seperti diatas akan mampu dihentikan. []
Idea Suciati, SS., Pembina Komunitas Muslimah Hijrah Bareng