Ibrah Surat Al-Hajj ayat 73: Mengapa Allah Memilih Lalat sebagai Perumpamaan dalam Al-Qur’an?

Dalam tafsir Al-Mishbah, menekankan sisi filosofis dan psikologis ayat ini. Menurutnya, Allah ingin menyentuh kesombongan manusia modern yang merasa hebat karena teknologi dan sains. Lalat digunakan karena manusia merasa jijik terhadapnya, namun lalat tetap memiliki sistem biologis yang rumit. Bahkan sesuatu yang telah disentuh lalat sulit dikembalikan ke bentuk asalnya, karena proses kimiawi yang tak mampu ditiru manusia.”
Ayat ini adalah teguran terhadap kecongkakan intelektual dan spiritual manusia. Lalat bukan sekadar serangga yang mengganggu. Ia adalah cermin dari keagungan Tuhan dan kelemahan makhluk-Nya. Ia mengingatkan kita bahwa kekuasaan tertinggi hanya milik Allah, dan manusia dengan segala kemajuan dan pencapaian tetap rapuh di hadapan ciptaan-Nya. Maka pantaskah kita menyombongkan ilmu, harta, atau kekuatan, padahal menciptakan seekor lalat pun tak mampu?
Perumpamaan lalat dalam Al-Qur’an bukan sekadar sindiran, melainkan pengajaran yang penuh hikmah. Dalam satu ayat yang ringkas, Allah menyampaikan pelajaran tentang tauhid, ketundukan, dan kerendahan hati. Lalat menjadi simbol kekuasaan Allah yang tidak bisa ditiru, bahkan oleh gabungan seluruh kekuatan di bumi.
Ayat ini merupakan ayat yang paling jelas dan keras ancamannya kepada kaum musyrikin yang menyembah berhala-berhala. Disini tuhan-tuhan yang mereka sembah, yang seharusnya memiliki kekuatan dan kemampuan, justru pada ayat ini digambarkan tuhan-tuhan mereka tidak memiliki kemampuan sedikit pun untuk membela dirinya sendiri.
Dapat disimpulkan bahwa Perumpamaan lalat dalam QS. Al-Hajj ayat 73 mengajarkan bahwa kemuliaan tidak diukur dari besar kecilnya sesuatu, tetapi dari makna dan pesan yang dibawanya. Seekor lalat bisa menjadi dalil atas kemahakuasaan Allah dan kelemahan total seluruh makhluk-Nya.
Hikmahnya; pertama, kita diajak menyadari bahwa makhluk sekecil lalat pun tak bisa kita ciptakan, meskipun kita telah menjelajahi luar angkasa atau menciptakan kecerdasan buatan. Ini adalah tamparan halus bagi mereka yang terlalu bangga dengan kemajuan teknologi tapi lupa pada Sang Pencipta.
Kedua, ayat ini mengajarkan bahwa menyembah selain Allah adalah bentuk kelemahan akal dan jiwa. Ketiga, Allah ingin kita merenung, tidak hanya membaca. Kata “فَاسْتَمِعُوا لَهُ” (maka dengarkanlah!) dalam ayat ini adalah seruan kepada akal. Dengarkan dengan hati, pahami dengan pikiran. Karena hanya mereka yang menggunakan akal dan hati yang bisa menangkap pesan Ilahi di balik sesuatu yang tampak sepele.[]
Azizah Rusman, Mahasiswa Universitas PTIQ Jakarta.