SANTRI PELAJAR

Idealnya Pemuda (Islam) Melihat Pacaran

Kita tidak harus lagi membicarakan apa hukum dari pacaran, sebab sederhananya: jangankan pacaran, mendekati pada hal yang berbau pacaran saja sudah diarang. Apalagi pacaran yang telah menyirami kawula muda dengan mimpip-mimpi dan janji yang manis acapkali tanpa realisasi.

Budaya pacaran ini bukan barang baru di realitas sekarang, dari dulu sudah sudah ada dan berkembang. Hanya saja gaya dan masanya berbeda. Terus lagi sekarang lebih berani juga terbuka.

Kita tentu bisa bayangkan kalau dulu bawa-bawa teman wanita apalagi pacar ke rumah maka orangtua biasanya rungsing, ibu cemas dan bapak siap meledakkan amarah! Ya, mereka pada tahu seperti status hubungan dua sejoli itu depan hukum agama. Tidak hanya tahu tapi coba diamalkan.

Tetapi sekarang, atas kebebasan dan cinta pada anak tak sedikit anak-anaknya membawa pacar ke rumah tapi orangtuanya diam saja, bahkan ada yang bangga anaknya sudah punya pacar dan berani membawa ke rumahnya. Astagfirullah…, betapa miris potret di sekitar kita.

Aktivis dakwah yang muda dan belum menikah acapkali menjadi cemooh karena statusnya belum punya pacar. Padahal jomblonya bisa jadi bukan karena tak ada yang mau atau tidak laku. Ada yang lebih mereka pikirkan juga takutkan yaitu nanti di Mahkamah Allah bagaimana mempertanggung jawabkannya.

Hari ini kita bisa mengelak. Bisa sodok atau suap pada aparat hukum tapi saat itu tiada guna lagi harta dan kekuasaan pun kebesaran turunan. Kita akan disidang di Mahkamah keadilan tanpa cela sedikitpun.

Adalah aneh kalau aktivis yang bergelut di dunia dakwah main perasaan. Tebar janji sana-sini sampai ada yang terjerat dikubangan zina. Waiyyaudzubillah.

Penulis bicara begini bukan tanpa fakta bahkan mendengar dari sumber pertama langsung. Secara lisan pandai bicara dalil-dalil dalam kenyataan kerontong dan terlibat skandal mesum.

Inilah salah satu ujian besar kita kaum muda yang terjun di cita-cita suci bagimana seharusnya mampu menempa diri dari godaan syahwat yang melenakan. Kita menghadapi dilema antara perjuangan dan pernikahhan. Kita sadar betapa resepsi permintaan dari pihak sebelah jadi ketakutan tersendiri.

Kita rindu jiwa-jiwa muda yang teguh memegang prinsip agama. Setulus hati berjuang bukti cinta pada-Nya. Bagaimana pun keadaannya tidak secuil pun tergoda. Agama kita telah menawarkan kemudahan dalam menyikapi persoalan asmara: nikahi atau jauhi.

Kalau kita mampu lahir-batin maka pintu nikah adalah solusinya. Kalau tidak, maka menjaga diri dari pintu fitnah adalah solusinya. Lebih baik kita bersedih di dunia tak mampu memilikinya daripada nanti di Alam Masyhar sesal kita tiada lagi berarti. Cinta kita mengantar pada nerakanya.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button