Idulfitri dan Bangsa yang Kehilangan Fitrahnya

Idulfitri bermakna kembali ke fitrah. Kembali ke suci. Selama sebulan penuh kita berpuasa ditambah dengan shalat tarawih, membaca atau tadabbur Al-Qur’an, mencari ilmu, berdakwah dan lain-lain, kita berharap Allah memberi pahala yang besar dan mengampuni dosa-dosa kita di masa lalu.
Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah maka dosanya di masa lalu pasti diampuni.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Fitrah berarti juga Islam. Islam adalah agama yang suci. Sebagaimana hadits Rasulullah, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah; kedua orang tuanyalah yang menjadikannya penganut agama Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi.” (HR Muslim)
Al-Qur’an juga menyebut bahwa fitrah itu adalah Islam.
فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui,” (QS ar Ruum 30)
Mohammad Natsir dalam bukunya Fiqh Dakwah menjelaskan bahwa hakikat dakwah adalah seruan atau ajakan yang menyentuh hati manusia sesuai dengan fitrahnya, agar mereka menjalani kehidupan sesuai dengan petunjuk Ilahi.
Lawan dari fitrah adalah najis atau kotor. Makanya Al-Qur’an menyatakan,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ
“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis…” (QS at Taubah 28)
Najis apanya? Imam Ghazali menyatakan bukan najis fisiknya, tapi najis batin, hati atau jiwanya. Orang-orang musyrik yang tidak meyakini Allah atau menyekutukan Allah adalah karena hatinya kotor. Hatinya penuh dengan hasad, dendam, sombong dan lain-lain. Tidak ada kesucian jiwa (tazkiyatun nafs) pada mereka. Mereka menolak Al-Qur’an, menolak Nabi Muhammad yang mulia, dan prinsip-prinsip aqidah lainnya.
Al-Qur’an menyatakan,
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا
وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS as Syams 9-10)