Inilah Tulisan Peter Berkowitz Terbaru Setelah Kunjungannya ke Indonesia

Pada musim panas 2020, mewakili NU, sahabat lama saya Dr. Timothy Shah menulis surat kepada saya – saat itu saya menjabat direktur Policy Planning Staff Departemen Luar Negeri AS dan sekretaris eksekutif Commission on Unalienable Rights – untuk menyampaikan apresiasi NU atas laporan terbaru komisi tersebut. Menteri Luar Negeri Mike Pompeo membentuk komisi itu pada musim panas 2019 dan menunjuk Prof. Glendon sebagai ketuanya.
Di tengah kontroversi soal status dan cakupan hak asasi manusia, Pompeo meminta komisi tersebut memperkuat kembali komitmen Amerika pada hak-hak yang melekat pada manusia – “unalienable rights” dalam istilah abad ke-18, atau hak asasi manusia dalam istilah modern – yang berakar pada prinsip-prinsip pendirian bangsa, tradisi konstitusional, serta kewajiban yang Amerika terima pada 1948 ketika mendukung Universal Declaration of Human Rights. NU, yang sejak lama melihat dalam iman Islam dan tradisi Indonesia sumber moral, filosofis, dan religius bagi hak dasar dan kebebasan fundamental, menemukan semangat yang sejalan dalam laporan itu.
Kursus Dasar AKN-NU membekali anggota NU, sejalan dengan deklarasi NU 1984, agar lebih efektif mempromosikan persaudaraan – di antara sesama Muslim, warga Indonesia, dan umat manusia. Kurikulumnya mencakup lebih dari 100 kelas: sejarah NU; sejarah, seni, dan budaya Islam; tradisi politik Barat; prinsip ekonomi sejak Adam Smith; kenegaraan dan hubungan dunia; sains, teknologi, dan AI; Kekristenan, Yudaisme, Hindu; serta India, Afrika Sub-Sahara, dan Tiongkok.
Seminar saya menyajikan tinjauan pemikiran politik Barat serta memperkenalkan beberapa karya besar, gagasan inti, dan ketegangan abadi dalam tradisi tersebut.
Seminar pertama membahas era kuno: perdebatan antara kaum kuno yang menilai politik bertujuan menumbuhkan kebajikan, dan kaum modern yang menekankan politik demi kebebasan. Kami mengkaji Plato dan Aristoteles, serta upaya Muslim, Yahudi, dan Kristen Abad Pertengahan mendamaikan iman dan akal.
Seminar kedua membahas tradisi kebebasan modern, terutama John Locke dan pemikirannya tentang kebebasan alami, kesetaraan, dan toleransi.
Seminar ketiga mengulas tradisi politik Amerika melalui The Federalist Papers.
Seminar keempat mengulas kelemahan demokrasi dan kebebasan, serta cara mengatasinya dengan tetap menjaga prinsip-prinsip itu – termasuk Burke, Tocqueville, Mill, Hayek, serta kritik radikal Karl Marx. Kami juga membahas akar Marxisme dalam “wokeism” progresif dan ancamannya terhadap pemerintahan demokratis.
Diskusi kami menyingkap kesamaan yang mencolok – meski penuh perbedaan – antara Amerika Serikat dan Indonesia. Keduanya sama-sama melawan penjajahan Barat untuk meraih kemerdekaan. Amerika didirikan oleh kaum Kristen, tapi bukan sebagai republik Kristen; Indonesia didirikan oleh kaum Muslim, tapi bukan sebagai republik Islam. Dan sebagaimana umat Kristen di Amerika memberi alasan berbasis agama untuk memisahkan agama dan negara, umat Muslim di Indonesia juga melakukannya dengan alasan dari Islam.
Dalam bulan-bulan pertamanya, Kursus Dasar NU telah menunjukkan bahwa pemikiran politik Barat menyediakan landasan bersama untuk membahas isu-isu penting bagi demokrasi yang melindungi hak di seluruh dunia.
Pendidik dan diplomat Amerika sebaiknya mengambil pelajaran berharga ini. Jika kajian bersama tradisi Barat dapat mempererat pemahaman lintas samudra dan peradaban, maka di Amerika sendiri tradisi ini dapat membantu menjembatani jurang antara kanan dan kiri di kampus-kampus. Ia juga dapat meningkatkan pemahaman para diplomat AS tentang kekuatan dan kelemahan bangsa mereka serta bangsa-bangsa sahabat dan lawan.[]