SUARA PEMBACA

Ironi 80 Tahun Kemerdekaan

Delapan puluh tahun sudah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Namun, peringatan tahun ini justru dibalut ironi. Di tengah gegap gempita upacara dan perayaan, rakyat dihadapkan pada kenyataan pahit dimana kemerdekaan yang sesungguhnya masih jauh dari genggaman.

Perekonomian Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal melanda berbagai sektor, mulai dari industri tekstil yang merumahkan ribuan buruh, hingga perusahaan teknologi yang memangkas tenaga kerja dalam jumlah besar. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), Ristadi, mengungkapkan bahwa antara Agustus 2024 hingga Februari 2025, sebanyak 939.038 pekerja di Indonesia terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) di 14 sektor usaha berdasarkan klasifikasi KBLI (metrotvnews.com). Di saat yang sama, penghasilan masyarakat stagnan bahkan di banyak kasus menurun, sementara harga-harga kebutuhan terus melambung.

Pemerintah menambah beban melalui berbagai pungutan dan pajak, memaksa masyarakat merogoh tabungan demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kelas menengah, yang selama ini dianggap “penyangga ekonomi”, kini berada di tepi jurang kemiskinan. Data menunjukkan, jumlah kelas menengah turun dari 57,33 juta (2019) menjadi 47,85 juta orang (2024), proporsinya menyusut dari 21,45% menjadi 17,13% penduduk. Fenomena “rombongan jarang beli” mencerminkan daya beli yang melemah. Padahal, kelas menengah menyumbang 50,7% penerimaan pajak. Namun inflasi di sektor pendidikan (5,8%) dan kesehatan (4,9%) menggerus upah riil yang hanya naik 3,8%. Pertumbuhan ekonomi 5,12% pada kuartal II-2025 tidak berbanding lurus dengan konsumsi rumah tangga yang hanya 4,97% (tirto.id).

Krisis ini tidak hanya terjadi di ranah ekonomi, tetapi juga di medan pemikiran. Potensi generasi muda yang seharusnya menjadi kekuatan bangsa justru diarahkan untuk mengokohkan sistem kapitalisme. Berbagai program seperti deradikalisasi, Islam moderat, dan dialog antar agama, dipromosikan dengan gencar. Alih-alih menguatkan identitas dan pola pikir Islam, program-program ini justru menjauhkan umat dari ajaran Islam yang murni. Inilah bentuk penjajahan pemikiran yang membuat umat tak lagi mampu berpikir shahih sesuai panduan wahyu.

Secara formal, Indonesia telah lepas dari penjajahan fisik sejak 1945. Namun, secara hakiki, penjajahan masih berlangsung hanya saja wujudnya berubah. Kemerdekaan seharusnya ditandai dengan terpenuhinya kebutuhan dasar seluruh rakyat: pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Ketika rakyat kesulitan makan, biaya pendidikan mahal, akses kesehatan terbatas, dan keamanan terancam, sesungguhnya kemerdekaan itu belum diraih secara hakiki. Terlebih lagi, ketika umat Islam kehilangan kebebasan berpikir sesuai Islam, maka penjajahan ideologis sedang berlangsung di depan mata.

Kondisi ini lahir dari penerapan sistem sekuler kapitalisme yakni sebuah sistem yang menjadikan materi sebagai ukuran utama dan memisahkan agama dari kehidupan. Sistem ini tidak berpihak pada kesejahteraan rakyat, melainkan melayani kepentingan kapitalis.

Akibatnya, para kapitalis semakin kaya, sementara rakyat kian miskin. Sumber daya alam yang melimpah dikuasai segelintir pihak, bukan dikelola untuk kemakmuran seluruh rakyat.

Sementara sistem Islam, sistem yang berasal sari Allah Taala, mengatur seluruh aspek kehidupan sesuai syariat, baik di bidang ekonomi, politik, sosial, maupun pendidikan. Dalam sistem Islam:

  1. Pengelolaan Kepemilikan Umum: Sumber daya alam dikelola negara untuk kepentingan rakyat, bukan swasta atau asing.
  2. Jaminan Kebutuhan Pokok: Negara memastikan setiap warga terpenuhi sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
  3. Industrialiasi & Lapangan Kerja: Negara mendorong industri untuk membuka lapangan kerja luas, sekaligus memberikan tanah bagi yang mau menghidupkan.
  4. Perlindungan Fakir Miskin: Santunan dari baitulmaal memastikan kelompok lemah mendapatkan kehidupan yang layak.
  5. Penjagaan Pemikiran Umat: Sistem Islam menjaga agar pola pikir umat tetap sesuai syariat, sehingga hidup dalam ketaatan kepada Allah.

Untuk meraih kemerdekaan hakiki, dibutuhkan perubahan mendasar dan hakiki pula—bukan sekadar pergantian wajah penguasa atau kebijakan tambal sulam. Perubahan ini harus menyentuh akar masalah, yaitu sistem kapitalisme itu sendiri. Wallahu ‘alam bisshawab.

Nita Yuliawati, S.Pd., Aktivis Muslimah di Bandung Barat.

Artikel Terkait

Back to top button