Ironi Larangan Jilbab Paskibraka 2024: Di Mana Letak Toleransi dalam Negara Pancasila?
Ketika institusi negara mengambil langkah yang membatasi hak individu untuk mengekspresikan keyakinannya, seperti larangan berjilbab ini, maka hal tersebut dianggap melanggar prinsip toleransi yang dianut oleh Pancasila. Seharusnya, negara menjadi pelindung bagi hak-hak setiap warga negara untuk menjalankan ajaran agamanya, bukan sebaliknya.
Kepala BPIP Prof. Yudian Wahyudi, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, beralasan bahwa larangan ini demi menjaga keseragaman dan kebhinekaan dalam Pasukan Pengibar Bendera Pusaka.
Namun, alasan ini justru menimbulkan pertanyaan lebih lanjut. Apakah keseragaman yang dimaksud harus mengorbankan hak individu untuk mengekspresikan keyakinannya? Apakah kebhinekaan yang seharusnya dirayakan justru ditafsirkan sebagai alasan untuk membatasi perbedaan?
Kebijakan ini menjadi contoh konkret dari bagaimana teori dan praktik ideologi sering kali tidak sejalan. Di atas kertas, Pancasila memberikan ruang bagi kebebasan beragama dan menghormati perbedaan. Namun, dalam praktiknya, justru perbedaan ini yang sering kali ditekan atas nama “keseragaman”.
Larangan berjilbab bagi anggota Paskibaraka ini juga dapat dianggap sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Setiap individu memiliki hak untuk menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya, termasuk dalam hal berpakaian. Larangan terhadap jilbab tidak hanya mengurangi kebebasan individu, tetapi juga dapat dianggap sebagai tindakan diskriminatif terhadap kelompok tertentu, yang berpotensi memecah belah persatuan bangsa.
Ironi di Negara Mayoritas Muslim
Tidak dapat dipungkiri, Indonesia adalah negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Dalam konteks ini, larangan berjilbab bagi Paskibraka menjadi ironi yang mendalam. Mengingat jilbab adalah bagian dari identitas Muslimah yang menjalankan perintah agama, kebijakan ini terasa seperti sebuah pengingkaran terhadap realitas sosial yang ada di Indonesia.
Negara yang berkomitmen pada nilai-nilai Pancasila seharusnya menjadi pelindung bagi warganya dalam mengekspresikan keyakinan agama mereka, bukan menjadi pihak yang membatasi.
Polemik larangan jilbab di kalangan Paskibraka ini mengingatkan kita pada pentingnya menghidupkan kembali semangat Pancasila dalam setiap kebijakan publik.
Pancasila bukan sekadar kata-kata yang dihafalkan, tetapi harus diwujudkan dalam tindakan nyata yang melindungi setiap warga negara, apapun keyakinannya.
Larangan berjilbab ini tidak hanya mencederai hati umat Muslim, tetapi juga menimbulkan pertanyaan mendasar tentang komitmen kita sebagai bangsa dalam menegakkan nilai- nilai Pancasila.
Hentikan Diskriminasi terhadap Umat Islam
Kontroversi ini tidak hanya menarik perhatian publik, tetapi juga menimbulkan reaksi keras dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan berbagai tokoh masyarakat lainnya. MUI bahkan menyebut larangan ini sebagai tindakan yang tidak Pancasilais.
Desakan agar BPIP meninjau kembali kebijakan ini terus mengalir, dengan harapan bahwa pemerintah akan memperhatikan suara rakyat dan memperbaiki langkah yang dianggap keliru ini.
Sebagai negara yang mendasarkan diri pada Pancasila, Indonesia harus memastikan bahwa setiap kebijakan dan tindakan pemerintah sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Larangan jilbab bagi Paskibraka bukan hanya melanggar hak asasi Muslimah untuk menjalankan keyakinannya, tetapi juga bertentangan dengan semangat kebhinekaan dan toleransi yang menjadi fondasi utama negara ini.[]
Sumarno, Dosen FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Ketua Yayasan Literasi Demokrasi Indonesia (Literasindo)