Ironi, Pelecehan Ajaran Islam di Negeri Mayoritas Muslim
Rupanya masih viral soal video santri tahfiz yang menutup telinganya. Hampir seluruh media televisi mengadakan dialog tentang video viral tersebut. Media cetak maupun online, menulis dan merespon dari berbagai sudut pandang.
Viralnya video tersebut dipicu oleh komentar nyinyir seorang Diaz Hendropriyono. Sembari memposting sebuah video tarian perut bernuansa Arab, Diaz pun menuliskan sindiran pada video santri yang menutup telinganya saat ada musik: “Sementara itu ….Kasian, dari kecil sudah diberikan pendidikan yang salah. There’s nothing wrong to have a bit of fun!!”
Banyak pihak yang menyayangkan pernyataan Diaz. Sebagai politikus, bekas Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) dan staf khusus presiden bidang intelejen, penyataan itu bernada tendensius anti keberagaman. Bukannya berusaha bersikap adil pada perbedaan sebagaimana nama partainya. Sebaliknya, diduga kuat berupaya mendiskriminasi dengan label “pendidikan salah” dan radikal pada santri yang tak mau mendengarkan musik.
Diaz bukanlah yang pertama, sudah banyak para pendahulunya. Tidak mendengarkan musik bukanlah ajaran Islam pertama yang dicibir. Tak lekang dari ingatan kita, puisi Sukmawati Soekarnoputri yang bernada tendensius. Membandingkan cadar dengan konde. Menyanjung syahdunya kidung ibu dibanding azan. Dan semua berakhir dengan cukup dengan kata maaf.
Larangan mendengarkan musik merupakan perkara khilafiyah, sama seperti cadar. Artinya, Islam memperbolehkan adanya perbedaan sebagai kekayaan khazanah Islam. Sehingga tetaplah ia sebagai ajaran Islam. Para ulama mujtahid telah berupaya sungguh-sungguh menggali hukumnya bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah serta mendalami fakta.
Ada empat hal yang menyebabkan pelecehan ajaran Islam selalu terulang. Pertama, sekularisme melahirkan kejahilan yang tak bertepi. Urusan agama dan akhirat diletakkan belakangan setelah urusan dunia. Termasuk dalam menuntut ilmunya. Mengejar ilmu dunia dibela-belain hingga keluar uang banyak bahkan keluar negeri.
Sementara, menuntut ilmu akhirat sesempatnya saja. Itu pun cari yang gratisan saja. Jadilah khutbah Jum’at yang seminggu sekali, menjadi alibi bahwa sudah belajar agama. Jangankan tau hukum mendengarkan musik, besar kemungkinan tak tau juga hukum wajibnya menuntut ilmu agama. Wajar akhirnya jahilnya permanen.
Kedua, kebebasan berpendapat dalam sistem demokrasi. Sari dari empat pilar kebebasan yang menopang demokrasi, selalu paten untuk membenarkan pendapat apapun. Meskipun pendapat tersebut bertentangan dengan norma dan agama. Atau melecehkan dan mengolok-olok ajaran Islam.
Ekspresi berpendapat alias berkomentar yang isinya melecehkan ajaran Islam akan dilindungi demi HAM. Sebaliknya, ketika pendapat tersebut berasal dari Islam justru akan dicurigai hingga dituduh ektrem, radikal dan teroris. Lihatlah apa yang terjadi dengan ajaran Islam khilafah. Di-framing sedemikian rupa bahwa khilafah membahayakan keutuhan NKRI.
Dengan standar ganda dari kebebasan berpendapat ini, maka suburlah pelecehan ajaran Islam. Seperti cendawan yang tumbuh di musim penghujan.