Islam di Tengah Pergeseran Kekuatan Global: Pelajaran dari KTT BRICS 2025

Di tengah gemuruh perubahan geopolitik dunia, KTT BRICS di Brasil menjadi penanda penting bahwa tatanan global tengah bergerak menuju era baru. Diinisiasi oleh blok negara-negara berkembang yakni Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan tidak lagi sekadar pelengkap dalam panggung internasional, melainkan aktor strategis yang menantang dominasi lama Barat.
BRICS, hadir dengan ide tentang kemandirian, solidaritas selatan, dan strategi membangun kekuatan alternatif di luar hegemoni Barat. Munculnya alternatif kekuatan global baru yang ditandai oleh menguatnya BRICS seolah membuka harapan untuk keluar dari ketergantungan pada tatanan unipolar yang selama ini didominasi oleh Barat. BRICS hingga saat ini disebut telah mencakup 40% dari PDB dunia serta merepresentasikan sekitar 56% populasi global (cnbcindonesia, 08/07/2025).
Tak mau ketinggalan, Indonesia kini menjadi anggota penuh BRICS pada KTT ke-17. Pada konteks ini, umat Islam—yang tersebar di berbagai negara dengan potensi sumber daya dan posisi strategis—perlu membaca ulang arah sejarah. Apakah umat ini akan kembali menjadi subjek perubahan atau tetap menjadi objek dalam permainan kekuatan global?
Dalam beberapa dekade terakhir, banyak negara berpenduduk mayoritas Muslim justru menjadi medan konflik, target intervensi, atau sekadar pasar bagi kepentingan ekonomi-politik global. Adapun BRICS yang menawarkan pendekatan multipolar—yang menjunjung kedaulatan, kesetaraan, serta kerja sama Selatan—maka umat Islam dianggap memiliki peluang langka untuk memosisikan diri sebagai pelaku aktif dalam arsitektur dunia baru. Namun, peluang ini tidak otomatis menjadi kekuatan tanpa kesiapan internal.
Negara-negara Muslim yang menjadi anggota BRICS atau yang berada dalam orbit pengaruhnya—seperti Indonesia, Mesir, Iran, Turki, dan Arab Saudi—masih bergulat dengan tantangan besar: kurangnya integrasi politik dunia Islam, ketimpangan ekonomi domestik, dan ketergantungan pada sistem asing dalam bidang teknologi serta pendidikan. Jika tantangan-tantangan ini tidak dijawab dengan pembaruan visi geopolitik Islam, maka BRICS pun hanya akan menjadi forum baru yang tetap mempertontonkan marginalisasi umat. Lantas apakah benar BRICS dapat menjadi alternatif bagi umat?
Faktanya, Islam sebagai sebuah peradaban memiliki modal besar: ajaran ekonomi yang adil, prinsip musyawarah, solidaritas ummah, dan sejarah panjang sebagai pusat ilmu dan perdagangan global di masa lalu. Dalam kerangka dunia multipolar, nilai-nilai ini bisa menjadi kontribusi etis dan praktis dalam membentuk tatanan global yang lebih adil. Tapi untuk itu, umat Islam harus berani keluar dari mentalitas inferior dan membangun posisi tawar dengan kekuatan intelektual, diplomatik, dan teknologi.
Hal ini tidak dapat dibangun dengan sekedar mengandalkan persekutuan bangsa seperti BRICS. Sebab pada akhirnya mekanisme ekonomi kapitalistik tetap menjadi andalan mereka. Artinya, sebagaimana prinsip kapitalisme yang menyerahkan kekuatan kepada negara yang memiliki kekuatan modal tertinggi.
BRICS dengan ‘perahu’ yang tidak jauh berbeda dengan Barat akan berakhir dalam titik yang sama yakni mencengkram negara-negara persekutuannya, lebih jelasnya mengukuhkan dominasi China. Karena diantara anggota BRICS, negara China sudah berada di level yang lebih tinggi sebagaimana AS di G7.
Maka janganlah umat berharap banyak. Selama masih ada ketergantungan pada kebijakan moneter AS di mana dolar AS sebagai mata uang cadangan global, nilai dan stabilitasnya masih memiliki dampak signifikan terhadap ekonomi di seluruh dunia.
Idealnya dedolarisasi bukanlah dengan menggantinya dengan RMB atau Yuan sebab ia masihlah mata uang kertas. Namun mestinya memakai mata uang berbasis emas sebagai standar moneter. Hal ini telah ada dalam standar moneter Islam. Standar emas adalah sistem yang stabil tanpa efek siklikal yang besar, independen dari manipulasi penguasa, tidak memiliki masalah penurunan nilai mata uang, krisis internasional dan krisis neraca pembayaran jangka panjang.
Inilah salah satu kunci melepaskan diri dari hegemoni Barat maupun China. Penerapan standar emas dan perak pun tidak bisa berjalan sendiri, tetapi diikuti institusi politik yang menjadi pelaksana sekaligus penjaganya. Dan ini diawali dengan meninggalkan kapitalisme dan kembali pada syariah kaffah.Wallahu’alam bisshawaab.[]
Ummu Ara, Pegiat Literasi.