Islamisasi Pancasila atau Sekulerisasi Pancasila?
Dalam rapat yang dipimpin Soekarno yang berlangsung pada jam 11.30-13.45 itu diputuskan: Pertama, Kata Mukaddimah diganti dengan kata Pembukaan. Kedua, Dalam Preambul (Piagam Jakarta), anak kalimat: “berdasarkan kepada Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, diubah menjadi “berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ketiga, Pasal 6 ayat 1, “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam”, kata-kata “dan beragama Islam” dicoret. Keempat, Sejalan dengan perubahan yang kedua di atas, maka Pasal 29 ayat 1 menjadi “Negara yang berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”, sebagai pengganti “Negara berdasarkan atas Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Tapi yang menarik dalam lobinya ke Kasman dan Ki Bagus, Hatta menyatakan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa, maknanya tauhid. Kasman menulis dalam bukunya: “Bung Hatta sendiri pada bulan Juni dan Agustus 1945 menjelaskan bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu ialah Allah, tidak lain kecuali Allah. Dan waktu beliau mengusulkan supaya Ketuhanan itu dengan rumus “Ketuhanan Yang Maha Esa” dijadikan sila pertama (dan bukan seperti maunya Bung Karno sebagai sila kelima dengan rumus “Ketuhanan”), maka Bung Hatta memberi penjelasan supaya Allah dengan NurNya itu kepada sila-sila yang empat lainnya dari Pancasila itu.”
Jadi, meski 17-18 Agustus 1945 Piagam Jakarta dimentahkan oleh Soekarno dkk, dan pada Sidang Majelis Konstituante 1956-1959 mengalami deadlock, tetapi pada 5 Juli 1959 Piagam Jakarta dinyatakan Presiden Soekarno secara tegas bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD 45 dan merupakan satu rangkaian kesatuan yang tidak terpisahkan. Karena itu, secara prinsip tidak boleh lahir satu undang-undangpun di negeri ini yang bertentangan dengan Islam. Dan itu wajar saja, karena memang negeri ini lahir dari pengorbanan mayoritas jiwa dan raga ulama-umat Islam.
Karena itu Presiden Soekarno saat memperingati Hari Lahir Piagam Jakarta, 22 Juni 1965 menyatakan: “Nah, Jakarta Charter ini saudara-saudara sebagai dikatakan dalam Dekrit, menjiwai UUD 1945 dan merupakan satu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut. Jakarta Charter ini saudara-saudara, ditandatangani 22 Juni 1945. Waktu itu jaman Jepang…Ditandatangani oleh –saya bacakan ya– Ir Soekarno, Drs Mohammad Hatta, Mr AA Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Mr Achmad Subardjo, Wahid Hasyim, dan Mr Mohammad Yamin, 9 orang.”
Musyawarah Alim Ulama
Melihat posisi Pancasila yang terkait erat dengan Piagam Jakarta itu, maka pada 21 Desember 1983, Musyawarah Nasional Alim Ulama di Situbondo, Jawa Timur memutuskan sebuah Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dengan Islam, yaitu:
- Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia bukanlah agama, tidak dapat menggantikan agama dan tidak dapat dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.
- Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai Dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
- Bagi Nahdlatul Ulama (NU) Islam adalah akidah dan syariah, meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia.
- Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dan upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agamanya.
- Sebagai konsekuensi dan sikap di atas, NU berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.
Tahun 1985, menanggapi asas tunggal yang diharuskan pemerintah ke orpol dan ormas saat itu, Mohammad Natsir yang saat itu memimpin Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia menerbitkan risalah kecil berjudul “Tempatkan Kembali Pancasila pada Kedudukannya yang Konstitusional”.
Ulama besar ini mengatakan: “Dalam suasana derasnya arus pemikiran dalam masyarakat menyangkut hal-hal yang sedemikian fundamental, pihak pemerintah ternyata tidak bersedia mengatasi persoalan secara mendasar dengan meneliti masalah dari segi sebab dan akibat, melainkan lebih banyak mencari-cari kesalahan pihak lain, seolah-olah masih ada golongan-golongan “anti Pancasila” (tanda kutip), ditujukan ke tiap golongan dan siapa saja yang tidak menyetujui cara menafsirkan dan menfungsikan Pancasila, sebagaimana yang sekarang diinginkan oleh pihak penguasa. Diseru-serukan, ”Demi Kesatuan dan Persatuan.” Yang kita alami: Gejala-gejala Islamo-phobi terus meningkat dari mengakibatkan frustasi di satu pihak dan radikalisasi di lain pihak. “Demi stabilitas dan kemantapan!” Yang kita alami: stabilitas semu, diliputi rasa takut di satu pihak dan sikap masa bodoh di lain pihak. “Demi Pengamalan Pancasila! Yang kita alami: tersingkirnya Pancasila dan Undang-Undang Dasar RI yang melahirkannya di tahun 1945.” (lihat Adian Husaini, Pancasila bukan Untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam, GIP).
Karena itu mantan Perdana Menteri RI Mohammad Natsir mengingatkan, ”Kita mengharapkan Pancasila dalam perjalanannya mencari isi semenjak ia dilancarkan itu, tidaklah akan diisi dengan ajaran yang menentang Al-Qur’an, wahyu Ilahi yang semenjak berabad-abad telah menjadi darah daging bagi sebagian terbesar dari bangsa kita ini. Dan janganlah pula ia dipergunakan untuk menentang kaidah-kaidah dan ajaran yang termaktub dalam Al-Qur’an itu, yaitu induk serba sila, yang bagi umat Muslim Indonesia menjadi pedoman hidup dan pedoman matinya, yang mereka ingin sumbangkan isinya kepada pembinaan bangsa dan negara, dengan jalan-jalan parlementer dan demokratis.”
Nuim Hidayat, Penulis Buku Imperialisme Baru