Islamofobia Berkobar, Islam Mesti Berkibar
“Majelis Ulama Indonesia (MUI) sangat menyesalkan adanya larangan memakai hijab di sejumlah sekolah di India terutama di negara bagian Karnataka. Hal ini jelas-jelas mencerminkan Islamophobia, permusuhan dan kebencian dari pihak pemerintah terhadap rakyatnya sendiri yang beragama Islam,” kata Waketum MUI Buya Anwar Abbas dalam keterangan tertulisnya, Rabu, (09/2/2022), seperti dilansir Okezone.com.
Anwar mengatakan perlakuan buruk yang diterima oleh umat Islam di India, juga telah menyakiti hati umat Islam yang ada di Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.
Di sisi lain larangan jilbab pada mahasiswi dan sekolah memicu kemarahan di India. Republika.co.id mengabarkan, sejumlah pelajar muslim India melakukan aksi unjuk rasa untuk memprotes larangan gadis Muslim berhijab untuk masuk ke ruang kelas di beberapa sekolah di negara bagian Karnataka, India selatan, di Kolkata, India, Rabu (9/2/2022).
Gadis Muslim berhijab dilarang menghadiri kelas di beberapa sekolah di negara bagian Karnataka, India selatan, yang memicu protes selama berminggu-minggu oleh para siswa. Kebijakan diskriminatif ini menyebabkan protes dan kekerasan yang meluas.
“Apa yang kita lihat adalah bentuk apartheid agama. Keputusan itu diskriminatif dan secara tidak proporsional memengaruhi perempuan Muslim,” kata AH Almas, seorang pelajar berusia 18 tahun yang sudah mengikutiprotes selama beberapa pekan, seperti dilansir Suara.com, Kamis, 10/02/2022.
Larangan hijab ini adalah bagian dari bukti kekejaman rezim Islamophobia India terhadap Muslim. Rezim penguasa dari partai radikal Hindu makin banyak mengeluarkan kebijakan anti Islam. Sementara itu muslim pada posisi menghiba perhatian dan bantuan dari dunia dan sesama muslim.
Akankah kejadian yang berulang dalam penistaan ini hanya menjadi tontonan kita umat Islam? India hanyalah salah satu negara yang melakukan ini, bahkan masih ada negara-negara lain sebelumnya melakukan hal yang sama dan bahkan lebih kejam dari itu.
Tentunya hal ini tak akan berhenti begitu saja. Penistaan secara fisik ataupun non fisik ini dilatarbelakangi oleh ketiadaan persatuan umat Islam dalam satu kepemimpinan. Umat Islam hanya seperti buih di lautan, mengambang tidak ada kekuatan. Perisai umat Islam sudah hancur berkeping-keping dalam batasan kenegaraan yang dilandasi faktor kepentingan bukan keimanan. Padahal harusnya keimanan inilah yang mempersatukan pemimpin negara-negara Muslim untuk membela saudara seimannya dimanapun berada.
Rasulullah bersabda, ”Perumpamaan orang-orang yang beriman di dalam saling mencintai, saling menyayangi dan mengasihi adalah seperti satu tubuh, bila ada salah satu anggota tubuh mengaduh kesakitan, maka anggota-anggota tubuh yang lain ikut merasakannya, yaitu dengan tidak bisa tidur dan merasa demam.” (HR Bukhari dan Muslim).
Hadis tersebut mengajarkan dua hal. Pertama, kaum mukmin merupakan satu tubuh yang saling terkait dan menyatu. Penyakit yang terdapat pada sebagian mereka akan dapat berpengaruh kepada bagian lainnya bila tidak ada pencegahan dan sebaliknya. Kedua, karena satu tubuh, kaum mukmin semestinya secara otomatis dapat merasakan penderitaan dan kesulitan yang dirasakan saudaranya yang lain. Seraya ia berupaya agar penderitaan dan kesulitannya itu berkurang hingga hilang sama sekali.
Pertanyaannya adalah, adakah cara untuk menyatukan umat Islam selain dengan cara menyatukan pemikiran, perasaan dan peraturan umat Islam dalam sebuah kepemimpinan?
Ketiadaan pemimpin umat Islam yang menerapkan syariat Islam hanya menjauhkan umat Islam dari pandangan hidupnya yang mulia sehingga tidak ada kemuliaan dalam aturan Islam ataupun para penganutnya. Wallahu a’lam.
Diana Nofalia, S.P., Aktivis Muslimah Riau.