Israel Duduki Gaza untuk Bersihkan TKP Kejahatan
Israel ingin menghancurkan bukti kejahatan perangnya dan menyiapkan jalan bagi pengusiran warga Palestina.

Ahmad Ibsais, Generasi pertama Palestina-Amerika.
Jika Anda membaca media Barat pagi ini, Anda mungkin mengira keinginan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk mengambil kendali militer atas Gaza adalah hal baru. Tetapi menjatuhkan bom seberat 900 kg tidak menyelamatkan sandera, dan melenyapkan seluruh lingkungan tidak mungkin dilakukan tanpa rencana membangun sesuatu sebagai gantinya.
Pada Jumat lalu, kabinet keamanan Israel menyetujui pendudukan Gaza City, meresmikan apa yang sejak awal memang menjadi tujuan akhir genosida ini. Rencana tersebut mengikuti urutan yang disengaja: pertama hancurkan, lalu buat kelaparan, duduki, tuntut demiliterisasi, dan akhirnya lakukan pembersihan etnis total setelah warga Palestina kehilangan kekuatan politik dan kemampuan untuk melawan. Inilah cara mewujudkan impian “Israel Raya”.
Lalu mengapa meresmikan pendudukan ini sekarang, setelah 22 bulan pembantaian sistematis? Karena TKP harus dibersihkan sebelum dunia melihat apa yang tersisa dari Gaza.
Pada Ahad (10/08), militer Israel membunuh jurnalis Al Jazeera: Anas al-Sharif, Mohammed Qreiqeh, Ibrahim Zaher, Mohammed Noufal, dan Moamen Aliwa dengan menembakkan rudal ke tenda media dekat Rumah Sakit al-Shifa. Nama mereka kini menambah daftar panjang lebih dari 230 jurnalis dan pekerja media Palestina yang dibunuh Israel sejak Oktober 2023.
Dengan melarang seluruh media asing mengakses Gaza secara bebas, jurnalis Palestina menjadi satu-satunya yang meliput dan mendokumentasikan kejahatan perang Israel. Pembunuhan ini adalah pesan jelas agar mereka berhenti dan bungkam.
Sementara itu, jurnalis asing yang ikut penerbangan airdrop bantuan ke Gaza juga mendapat peringatan. Rekaman udara yang mereka bagikan menampilkan sekilas wajah Gaza: hamparan beton hancur, reruntuhan, dan jalan-jalan kosong. Sebuah kehancuran total.
Rekaman itu mengejutkan pemirsa di seluruh dunia, dan pemerintah Israel cepat-cepat melarang perekaman di penerbangan tersebut, dengan ancaman bahwa pengiriman bantuan akan dihentikan jika larangan dilanggar.
Israel tahu ia tidak bisa selamanya menutup akses media asing ke Gaza. Genosida ini pada akhirnya akan berakhir; konvoi bantuan dan pekerja kemanusiaan akan diizinkan masuk, dan bersama mereka jurnalis asing dengan kamera.
Sebelum hari itu tiba, Israel berpacu untuk menghapus bukti, karena begitu dunia melihat Gaza, mereka tak lagi bisa berpura-pura bahwa perang ini tentang hal lain selain pembunuhan massal warga Palestina dan penghapusan sejarah mereka.
Pendudukan Gaza City adalah seperti seorang pembunuh yang kembali ke TKP untuk menyembunyikan mayat. Tujuannya bukan hanya menutupi kejahatan, tetapi juga meyakinkan dunia bahwa para korban sebenarnya tidak mati, dan bahwa apa yang kita lihat bukanlah kenyataan.
Jumlah korban resmi di Gaza adalah 60.000 jiwa, angka yang menurut banyak ahli masih terlalu rendah. Perkiraan menyebutkan ratusan ribu warga Palestina kemungkinan telah dibunuh. Seperti yang dinyatakan pakar PBB pada 7 Agustus, “Israel memusnahkan penduduk Gaza dengan segala cara.” Ada banyak kejahatan yang harus mereka tutupi.
Kita sudah melihat modus operandi militer Israel dalam menghancurkan bukti di Gaza: mengubur warga sipil yang dibantai dalam kuburan massal menggunakan buldoser; menahan jenazah korban penyiksaan; mengubur seluruh TKP eksekusi di pasir; menanam senjata di rumah sakit yang mereka jarah; berbohong tentang penemuan terowongan.