#Bebaskan PalestinaINTERNASIONAL

Israel Duduki Gaza untuk Bersihkan TKP Kejahatan

Israel ingin menghancurkan bukti kejahatan perangnya dan menyiapkan jalan bagi pengusiran warga Palestina.

Semua ini sesuai dengan sejarah panjang Israel dalam menghapus bukti kekejaman. Sejak 1948, otoritas Israel secara sistematis menghapus jejak pembersihan etnis warga Palestina dengan membangun di atas reruntuhan desa dan kota yang dijarah.

Intelijen Israel juga telah mengeluarkan dokumen dari arsip yang menjadi bukti keterlibatan pasukan Zionis dan Israel dalam kejahatan perang selama Nakba 1948. Beberapa dokumen yang hilang memuat rincian mengerikan tentang kebrutalan pejuang Zionis selama pembantaian warga Palestina, seperti di desa Dawaymeh dekat Hebron, di mana ratusan pria, wanita, dan anak-anak Palestina dibunuh dengan tembakan artileri atau dieksekusi langsung. Pada 1955, pemukiman Amatzia dibangun di atas reruntuhan desa Palestina itu.

Dengan menduduki Gaza utara sekarang, Israel hampir pasti akan menggunakan metode penghapusan dan pemalsuan yang sama, sekaligus mengendalikan liputan media asing seperti yang telah mereka lakukan.

Militer Israel hanya mengizinkan jurnalis asing masuk ke Gaza dengan pendampingan unit militer di bawah aturan ketat yang mengubah wartawan menjadi bagian dari propaganda (hasbara). Jurnalis yang “embedded” harus menyerahkan semua materi untuk ditinjau militer sebelum dipublikasikan, selalu berada di bawah pengawasan, dan tidak boleh berbicara bebas dengan warga Palestina.

Dengan demikian, jurnalis menjadi corong militer Israel, mengulang pembenaran atas penghancuran besar-besaran dan menyebarkan kebohongan bahwa warga sipil Palestina adalah “perisai manusia” serta rumah sakit dan sekolah Gaza adalah “pusat teror”.

Pendudukan penuh juga memudahkan pembantaian dan pembersihan etnis lebih lanjut. Mereka yang menolak pengusiran paksa akan dicap “militan” untuk membenarkan pembantaian. Israel menggunakan strategi ini di awal genosida, dengan menyebar selebaran yang memperingatkan warga Palestina di Gaza utara bahwa mereka akan dianggap “mitra organisasi teroris” jika tidak mematuhi “perintah evakuasi”.

Pengungsian massal penting untuk menutupi kejahatan karena menciptakan narasi baru bahwa warga Palestina bermigrasi secara sukarela, bukan sedang mengalami pembersihan etnis. Tujuan jangka pendeknya adalah memaksa warga yang patuh masuk ke kamp konsentrasi di selatan dan memisahkan mereka dari rumah dan tanah mereka. Seiring waktu, akan lebih mudah untuk mengusir mereka ke tempat lain dan menolak hak kembali mereka—seperti nasib para pengungsi Nakba yang dipaksa lari ke Gaza dan kemudian ditolak hak kembalinya.

Respons komunitas internasional atas rencana Israel ini hanyalah kecaman lagi. Jerman bahkan menghentikan ekspor militer yang bisa digunakan di Gaza—sesuatu yang seharusnya dilakukan 22 bulan lalu, ketika Israel mulai membombardir warga sipil tanpa pandang bulu.

Tindakan ini memalukan. Tidak membebaskan pemerintah-pemerintah itu dari keterlibatan mereka dalam membantu dan memfasilitasi kejahatan genosida; ini hanya tanda lain dari keberanian moral mereka yang rendah.

Komunitas internasional harus mengambil langkah tegas. Mereka harus melakukan intervensi militer, seperti yang diamanatkan hukum internasional, untuk memaksa Israel segera menghentikan kekerasan, mengizinkan bantuan kemanusiaan tanpa batas masuk ke Gaza, dan memberikan kebebasan yang menjadi hak warga Palestina. Jurnalis internasional harus segera diberi akses untuk mengumpulkan bukti apa pun yang tersisa sebelum menghilang di bawah dalih “operasi militer”.

Sudah waktunya dunia mulai mempercayai warga Palestina. Selama 22 bulan, warga Palestina telah mengatakan ini adalah genosida. Mereka mengatakannya saat terjebak di bawah reruntuhan, saat kelaparan, saat menggendong jenazah anak-anak mereka. Mereka mengatakan Israel tidak sedang membela diri, melainkan berusaha menghapus warga Palestina. Mereka mengatakan pendudukan dan pembersihan etnis adalah tujuannya. Politisi Israel sendiri telah mengatakannya.

Tanpa tindakan internasional yang mendesak, kata-kata “tidak akan pernah lagi” (never again) tidak akan merujuk pada pencegahan genosida, tetapi pada keberadaan kehidupan warga Palestina di Gaza. Kebenaran yang telah dibayar dengan nyawa begitu banyak warga Palestina tidak boleh terkubur bersama jasad mereka. []

Sumber: AL JAZEERA

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button