Israel Tak Tahan Hadapi Kebenaran, Maka Mereka Membungkam Dunia
Saat Israel menewaskan puluhan ribu orang, para pembelanya menyerang siapa pun yang berani bersuara – dari Francesca Albanese hingga Omer Bartov.

Somdeep Sen, Asian Studies in Africa, University of Pretoria
Kita hidup di masa yang benar-benar luar biasa.
Baru-baru ini, kita menyaksikan pelapor khusus PBB untuk situasi hak asasi manusia di wilayah Palestina, Francesca Albanese, dikenai sanksi oleh Amerika Serikat karena melakukan pekerjaannya – yakni mendokumentasikan pelanggaran Israel terhadap warga Palestina selama serangan militer yang terus berlangsung di Gaza.
Namun dengan lebih dari 58.000 warga Palestina tewas hingga saat ini di Gaza, argumen membela Israel makin rapuh. Jadi, demi kepentingan Israel, semuanya harus dibungkam dan dilarang.
Tentu saja, pembungkaman dan sensor telah menjadi modus operandi kubu pro-Israel sejak Oktober 2023.
Segera setelah serangan Hamas terhadap Israel, mereka menyasar semua yang menegaskan bahwa sejarah Palestina dan Israel tidak dimulai pada 7 Oktober 2023, dan yang menyinggung sejarah panjang pendudukan, kolonialisme pemukim, atau pengepungan Gaza sejak 2007 – semua itu dibungkam, disensor, dan dihukum.
Itu masa-masa ketika laporan tentang “bayi yang dipenggal” ramai diberitakan—laporan yang kini telah terbukti tidak kredibel.
Di Amerika Serikat dan Eropa, sebagian orang menerima ancaman pembunuhan dan serangan di media sosial; yang lain ditegur oleh pemberi kerja atau atasan karena mengkritik kebijakan Israel atau secara terbuka menyatakan dukungan pada Palestina.
Di sekolah-sekolah di Maryland, Minnesota, Florida, dan Arizona, guru-guru diskors dan klub siswa dibubarkan karena aktivisme pro-Palestina. Profesor universitas di AS dan Inggris dilaporkan ke polisi hanya karena memberi “like” atau membagikan unggahan media sosial pro-Palestina.
Pada Mei 2024, Maura Finkelstein menjadi akademisi bergelar tetap (tenured) pertama yang diberhentikan karena ujaran anti-Zionis. Ia dipecat dari Muhlenberg College setelah memposting karya seorang penyair Palestina.
Sejak Oktober 2023 hingga kini, ada puluhan kasus serupa di seluruh dunia. Baru beberapa hari lalu, empat dosen paruh waktu di City University of New York diberhentikan karena aktivisme solidaritas Palestina mereka.
Setelah itu, mereka menyasar pers.
Sementara jurnalis asing dilarang memasuki Gaza, jurnalis Palestina di sana diperlakukan Israel sebagai target militer yang sah. Rata-rata, 13 jurnalis terbunuh per bulan – angka yang disebut lebih tinggi daripada gabungan korban jurnalis di “kedua Perang Dunia, Perang Vietnam, perang di Yugoslavia, dan perang AS di Afghanistan.” Ini adalah konflik paling mematikan yang pernah tercatat bagi pekerja media.
Di tempat lain, suara-suara jurnalis – terutama yang berlatar Timur Tengah atau Afrika Utara – secara sistematis dibungkam karena mendukung perjuangan Palestina atau mengkritik pemerintah Israel.