Israel Telah Mengubah Musim Panas Gaza Menjadi Senjata
Di Gaza, musim panas tidak lagi membawa cahaya – ia membawa haus, lapar, dan duka. Matahari itu sendiri telah dijadikan senjata melawan kami.

Tahun lalu, setelah diusir dari rumah kami di timur Khan Yunis, kami setidaknya punya sedikit variasi makanan. Masih ada bantuan datang. Kami masih bisa memasak. Tapi sejak 2 Maret, ketika Israel kembali memblokir bantuan kemanusiaan, kami jatuh ke jurang kelaparan yang direkayasa.
AS dan Israel kini menggelar sandiwara menjijikkan bernama “Yayasan Kemanusiaan Gaza” untuk mendistribusikan tepung. Mereka menaruh karung-karung tepung dalam kandang besi seolah kami ternak. Orang dipaksa antre berjam-jam di bawah langit terbuka, tanpa teduh, tanpa martabat. Tentara berteriak menyuruh melepas topi, tiarap di aspal membara, merangkak untuk makanan. Setelah semua itu, Anda mungkin pulang dengan tangan kosong—jika tidak ditembak lebih dulu.
Mereka merendahkan standar hidup kami. Kami tak lagi meminta keselamatan atau tempat tinggal. Kami hanya bertanya: Apakah ada cukup makanan untuk bertahan hari ini?
Israel menggabungkan semua alat penyiksaan: panas tanpa teduh, haus tanpa air, lapar tanpa harapan. Tidak ada listrik untuk mengoperasikan desalinasi atau pompa air. Tidak ada bahan bakar untuk mendinginkan sedikit air yang ada. Tidak ada tepung, tidak ada ikan, tidak ada pasar. Bagi banyak dari kami, musim panas ini bisa jadi musim terakhir.
Ini bukan krisis iklim. Ini cuaca yang dijadikan senjata—perang yang dilancarkan bukan hanya dengan bom dan peluru, tapi juga dengan panas, haus, dan kematian perlahan. Gaza bukan sekadar terbakar—ia dicekik di bawah matahari buatan manusia. Dan dunia menonton, menyebutnya “konflik”, sambil memeriksa prakiraan cuaca. []
Qasem Waleed, Fisikawan dan penulis Palestina yang berbasis di Gaza
Sumber: Al Jazeera