Jahiliyah di Makkah dan Tanah Jawa, Samakah?
Jahiliyah di Tanah Jawa
Sebelum Islam berkembang di Jawa melalui dakwah Walisongo, masyarakat Jawa hidup dengan sistem kepercayaan yang bercampur antara Hindu, Buddha, dan kepercayaan lokal, seperti animisme dan dinamisme.
Sinkretisme ini melahirkan tradisi yang jauh dari nilai-nilai tauhid, dengan praktik seperti pemujaan roh nenek moyang, pengorbanan hewan untuk dewa-dewa, dan ritual magis yang menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Ketimpangan sosial juga sangat terasa, di mana kerajaan dan kasta atas mendominasi sumber daya, sementara rakyat kecil hidup dalam kesenjangan. Dalam situasi ini, Walisongo hadir sebagai pembawa Islam di Nusantara, yang memperkenalkan ajaran Islam dengan pendekatan budaya yang bijaksana.
Dalam dakwahnya, Walisongo menggunakan berbagai pendekatan dakwah yang diadaptasi dari budaya lokal dan sesuai dengan ajaran Islam, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an Surah An-Nahl (16:125): “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik…”
Pendekatan ini mencakup metode al-hikmah, yaitu dakwah yang bijaksana, atraktif, dan populer untuk menarik perhatian masyarakat awam. Selain itu, salah satu metode yang terkenal adalah penggunaan seni dan budaya sebagai media dakwah. Contohnya, Sunan Kalijaga yang memanfaatkan wayang kulit dan gamelan sebagai sarana untuk menyampaikan pesan Islam.
Selain itu, Walisongo juga mendirikan pesantren sebagai pusat pendidikan dan pembinaan masyarakat. Islam diajarkan secara bertahap untuk mengurangi resistensi dari masyarakat yang telah lama menganut kepercayaan lama. Kehidupan sederhana dan sikap toleran mereka juga menjadi teladan yang menarik perhatian masyarakat Jawa untuk memeluk Islam.
Dengan strategi ini, Walisongo berhasil mentransformasi kepercayaan dan budaya masyarakat Jawa menuju Islam, seraya menjaga harmoni dengan tradisi lokal.
Transformasi ini menjadi salah satu tonggak penting penyebaran Islam di Jawa, dan bukti bahwa pendekatan dakwah yang bijaksana mampu menjawab tantangan sosial dan budaya pada masanya.[]
Diandra Shafira, Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.