Jangan Sampai Keluarga Jadi Musuh Dunia Akhirat
Ingatlah, bahwa seiring dengan kesenangan dan kebahagiaan yang Allah halalkan dalam kehidupan didalam keluarga bersama anak-anak dan istri istri yang kita cintai, seperti bersenda gurau dengan mereka dan mencari nafkah untuk menghidupi mereka, ada tanggung jawab yang harus kita pikul sebagai pemimpin keluarga, baik untuk urusan dunia dan yang terpenting adalah urusan akhirat mereka. Dan tanggung jawab itu tidak akan dapat kita tunaikan jika ternyata anak dan istri kita menjadi musuh bagi diri kita sendiri, bukan sebagai penyenang hati.
Allah Ta’ala, berfirman:
يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوٓا إِنَّ مِنْ أَزْوٰجِكُمْ وَأَوْلٰدِكُمْ عَدُوًّا لَّكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ ۚ وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka; dan jika kamu maafkan dan kamu santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. At-Taghabun 64: Ayat 14)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah, ketika menafsirkan ayat dalam surat Ath Thaghabun diatas mengatakan, “Allah ta’ala mengabarkan bahwa diantara sebagian istri dan anak ada yang menjadi musuh bagi suami dan anaknya. Maknanya, bahwa ia menjadi terlalaikan dengan amal shaleh disebabkan olehnya. Seperti dalam firman Allah,
ياأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلاَ أَوْلاَدُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS. Al Munafiqun [63]: 9)
Oleh karena itu dikatakan dalam ayat ini, “Barhati-hatilah kamu darinya.” Ibnu Zaid berkata, “Maksudnya adalah dalam urusan agama.”
Mujahid berkata, firman Allah, “sesungguhnya dari istri-istri kalian dan anak-anak kalian adalah musuh bagi kalian” membuat seorang laki-laki memutuskan silaturahmi atau bermaksiat kepada Rabbnya, karena kecintaannya (kepada istri dan anak), ia tidak mampu berbuat apa pun kecuali menuruti keinginan keduanya.” (Tafsir al Qur`an al Adziim, vol. 7, hal. 292, cet. Ibnul Jauzi)
Dalam hal ini musuh kita yang paling utama adalah setan karena ia sentiasa menyuruh kita untuk mengingkari Allah Ta’ala dan perintah-Nya. Usaha dan pergerakan setan dalam menjerumuskan diri dan keimanan kita kadangkala dengan membisikkan ide dan pemikiran yang berlawanan dengan kehendak Allah. Tetapi dalam banyak hal, setan menggoda manusia melalui berbagai wasilah seperti isteri, anak-anak, harta, kedudukan, pangkat dan lain-lain.
Ketika setan mencari wasilah istri istri dan anak anak untuk menggoda suami, maka itulah istri dan anak yang menjadi musuh bagi seorang laki-laki, yaitu istri dan anak yang terlampau dicintai dan disayanginya sehingga membuat ia melupakan Allah, menelantarkan agama, berpaling dari ilmu dan amal shaleh, bahkan menjadikannya bermaksiat kepada Allah, mendzalimi sesama, tidak menunaikan hak orang lain dan kikir dalam berinfak di jalan Allah. Betapa banyak saat ini seorang suami dan juga ayah, seorang kepala dalam keluarga yang menjadi ‘korban’ dari anak dan istrinya. Demi mencari kebahagian didunia dilanggarnya aturan Allah, begitu rela menafkahi keluarga dengan harta yang haram.
Berbeda dengan seorang suami, imam keluarga yang memahami akan hakekat amanah dan tanggung jawab yang diberikan Allah kepadanya, agar selalu menjaga agama dan nafkah yang diberikan kepada keluarganya. Dan selalu berdoa mohon pertolongan Allah agar diberikan hidayah, agar tidak menjadi musuh keluarganya baik dunia terlebih lagi diakhirat.
Allah Ta’ala, berfirman tentang Ibadurrahman, mereka berkata,
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ
“Ya Tuhan kami, karuniakan kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami).” (QS. Al Furqan [25]: 74)
Mereka meminta kepada Allah agar Allah mengaruniakan kepada mereka istri-istri dan anak-anak yang menjadi penyenang hari mereka. Jika semua istri dan anak musuh, maka tidak akan ada yang menjadi penyenang hati. Karena musuh tidak mungkin menjadi penyenang hati, akan tetapi sesuatu yang dibenci hati.
Wallahu a’lam
Abu Miqdam
Komunitas Akhlaq Mulia