Jokowi: Standar Etika, Kapabilitas dan Kapasitas yang Rendah
Saya kira soal anggaran bocor ada di mana-mana ya, tapi tidak mungkin kalau sampai sebesar itu,” ujar anak buah Presiden yang pernah berjanji akan menyetop impor produk pertanian saat kampanye 2014 silam, di Jakarta, Senin (11/2).
Pengakuan senada juga datang dari Wapres Jusuf Kalla. Dia tidak menampik adanya kebocoran anggaran pemerintah seperti yang diungkapkan Prabowo. Kebocoran ini di antaranya ditandai dengan penangkapan aparat pemerintah terkait kasus korupsi yang marak belakangan. Kalau tidak bocor, lanjut Kalla, kenapa banyak aparat pemerintah yang ditangkap?
Perihal kebocoran anggaran juga diamini Ketua Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Sri Adiningsih. dia mendapat informasi bahwa pengelolaan keuangan daerah selama ini bukannya membaik, tetapi justru memburuk. Korupsi kebocoran keuangan (di pemerintah daerah) bisa mencapai 20%-40%.
Salah satu Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Alexander Marwata, membenarkan besaran nilai itu. Angkanya muncul dari perkiraan berdasar nilai kerugian negara yang terungkap dalam proses persidangan selama ini. Lembaga antirasuah tersebut menyatakan, pengelolaan keuangan pemerintah daerah belum sepenuhnya efektif dan efisien. Aparat penegak hukum masih menemukan adanya kebocoran anggaran yang disebabkan oleh korupsi.
Jadi, soal bocornya anggaran seperti yang dipaparkan Prabowo sejatinya bukanlah isapan jempol belaka. Kejahatan korupsi benar-benar ada dan menggurita di negeri ini. Dari rezim ke rezim korupsi selalu ada dan tumbuh subur. Di era Jokowi, juara korupsi adalah kader-kader dari PFIP dan Golkar, dua parpol pengusung utamanya di kabinet dan parlemen.
Dengan demikian, jelas amat tidak bijak jika Cak Jancuk justru mengolok-olok orang yang memperingatkan bahaya bocornya anggaran. Sebagai Capres petahana, tentu dia paham dan tahu persis, bahwa korupsi memang ada di setiap era. Apa ruginya mengakui kebenaran peringatan orang lain, bahkan walau yang bersangkutan adalah sang rival? Gengsi?
Ini adalah standar etika dan sikap yang dibutuhkan seorang negarawan. Kalau perkara dasar ini saja sudah tidak punya, apa yang bisa diharapkan dari orang seperti ini? Jika dipaksakan menjadi pemimpin, apalagi Presiden, rakyat sudah merasakan akibatnya dalam empat tahun terakhir. Atmosfir Indonesia dipenuhi dengan pencitraan dan janji-janji yang tak direalisasi.
Indonesia adalah negara besar dengan seabrek persoalan yang juga besar. Butuh pemimpin dengan kapabilitas dan kapasitas mumpuni. Pemimpin yang punya visi jauh ke depan dengan gagasan-gagasan besar, out the box, dan mampu mendeliver janji-janjinya. Bukan pemimpin yang sibuk dengan hal-hal remeh, pencitraan dan pembohongan, atau sibuk menyenangkan pihak asing dan aseng.
Sampai di sini makin benderang, bahwa kapabilitas dan kapasitas orang yang pernah berjanji akan mempersulit masuknya investasi asing saat debat Pilpres 2014 silam itu, memang cuma sampai di situ. Ibarat mobil ferari, kapasitas dan kapabilitasnya baru sampai pada level pengemudi bajaj. Meminjam kalimat wartawan senior Asyari Usman, kapasitas dan kapabilitas Cak Jancuk memang tidak sampai. Jokowi telah gagal.
Jakarta, 12 Februari 2019
Edy Mulyadi
Wartawan senior