Kabinet Baru untuk Lawan Radikalisme atau Membungkam Pengkritik?
Mantan Wakil Panglima TNI Jenderal (Purn) Fachrul Razi tengah menjadi sorotan. Lulusan Akademi Militer tahun 1970 itu ditunjuk Presiden Joko Widodo masuk Kabinet Indonesia Maju periode 2019-2014 sebagai Menteri Agama. Pelantikan Fachrul Razi sebagai Menteri Agama, jelas membuat publik kaget. Mengingat selama ini kursi Menteri Agama selalu diduduki oleh orang yang berlatar belakang NU dan pesantren.
Diungkapkan Presiden Joko Widodo,alasan memilih Fachrul Razi berkaitan dengan radikalisme. Presiden meminta Menag mengurus pencegahan radikalisme. Permintaan presiden tersebut disampaikan di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, pada Kamis, 24/10/2019. (detik.com, 24/10/2019).
Arahan Presiden Jokowi kepada Menag baru ini pun menuai kritik. Salah satunya datang dari Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), Din Syamsudin. Menurutnya tugas Kementerian Agama (Kemenag), bukan memberantas radikalisme. Tapi, Kemenag memiliki peranan untuk membangun bangsa.
Beliau juga meminta Kemenag jangan disalahfungsikan, sebab radikalisme tidak hanya di seputaran keagamaan. Maka, jangan dibelokkan karena antiradikalisme tidak hanya radikalisme keagamaan. Masih menurutnya, Kemenag lebih tepat disebut kementerian antiradikalisme jika diarahkan untuk memberantas radikalisme. (okezone.com, 23/10/2019).
Agenda melawan radikalisme menjadi sinyal kuat fokus pemerintah lima tahun mendatang. Selain Fachrul Razi, masih ada nama menteri lain yang mungkin dijadikan garda depan untuk menumpas radikalisme. Di antaranya, ada Tito Karnavian sebagai Mendagri yang memiliki rekam jejak sebagai mantan Kapolri, ia pernah menjabat sebagai Kepala Densus 88 Antiteror Polri dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Selanjutnya ada Menko Polhukam Prof. Mahfud MD pernah menjabat sebagai anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Pada medio Agustus 2019, publik sempat digegerkan dengan pernyataannya yang mengaku mendapatkan informasi tentang adanya aliran sejumlah dana dari orang-orang yang berpaham radikalisme dari Arab Saudi ke Tanah Air. (tirto.id, 24/10/2019).
Selain itu, ada Menpan RB Tjahjo Kumolo yang memiliki rekam jejak mendukung pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia, dan mempersulit perpanjangan izin ormas Front Pembela Islam di Kemendagri. Pada medio Oktober 2019 dalam acara bertajuk Temu Kangen Alumni KNPI Jawa Tengah, Tjahjo Kumolo mengatakan radikalisme dan terorisme menjadi tantangan terbesar bangsa ini. (detik.com, 13/10/2019).
Formasi ini pun kian lengkap dengan masuknya Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan. Pada saat penandatanganan sertijab Menteri Pertahanan di Kementerian Pertahanan, Kamis, 24/10/2019, mantan Menhan Ryamizard Ryacudu mengatakan PR Prabowo menghancurkan Khilafah dan ISIS. Menurutnya, masalah radikalisme harus menjadi salah satu fokus utama. (kumparan.com, 24/10/2019).
Narasi radikalisme tidak hanya mengundang keresahan publik. Lebih dari itu, narasi radikalisme menjadi skenario jahat rezim membingkai dan menstigma buruk Islam dan umatnya. Ya, sudah menjadi rahasia umum bahwa narasi radikalisme merupakan senjata untuk membidik Islam dan umatnya. Sebagai upaya deradikalisasi Islam yang digagas Barat. Dan atas nama perang melawan radikalisme, Islamofobia yang menjangkiti rezim dipastikan akan semakin brutal dan ganas di jilid II terhadap Islam, ulama dan umatnya.
Radikalisme seolah menjadi momok yang menakutkan bagi rezim ini. Dan tidak hentinya menjadi sorotan sejak kabinet baru dilantik, hingga hari ini. Menelan isu ekonomi yang porak poranda, penuntasan karhutla, iuran BPJS Kesehatan yang mencekik, merebaknya LGBT, membanjirnya impor dan tragedi berdarah di Papua, yang seharusnya menjadi perhatian utama.
Rezim pun seolah ingin gerak cepat memainkan narasi ini. Terbukti belum genap seminggu menjabat, Menag dalam wawancara di Kompas TV, dengan tegas mengatakan akan menindak tegas para ustaz yang isi ceramahnya bisa mengancam keutuhan bangsa. Sementara Menkopolhukam Prof. Mahfud MD menyatakan bahwa masjid di kantor pemerintah bukan tempat untuk membangun adu domba dan takfiri. Menurutnya, masjid di kantor pemerintah harus membangun kesejukan dan persaudaraan. (cnnindonesia.com, 26/10/2019).
Dari pernyataan kedua menteri tersebut dapat ditarik garis merah, bahwa narasi radikalisme tidak hanya sebagai agenda deradikalisasi Islam dan memecah belah umat dengan politik belah bambu ala Barat. Tapi juga diarahkan untuk membungkam para pengkritik. Terutama dari para ulama dan tokoh Islam yang terkenal vokal menyuarakan kritik terhadap kebijakan zalim penguasa. Kalau bukan demikian, mengapa pernyataan kedua menteri tersebut hanya ditujukan untuk Islam dan umatnya?
Narasi radikalisme menjadi alasan umum bagi rezim, untuk memerangi dan melawan pemikiran, organisasi dan Islam politik. Di mana tujuannya untuk mengamankan kepentingan ekonomi-politik rezim dan hegemoni asing atas negeri ini. Di samping untuk mempertahankan eksistensi rezim boneka yang telah gagal mengurus kepentingan rakyat dan negara.
Ironis. Rezim yang vokal menyuarakan demokrasi justru membungkam kritik. Menutup aktivitas mengoreksi penguasa dengan cara licik dan zalim. Memainkan narasi radikalisme untuk membungkam suara rakyat. Semata-mata demi mengamankan kepentingan rezim boneka antek asing dan para kapitalis. Serta untuk menjegal gelombang aksi rakyat melawan ketidakadilan dan kezaliman, sebagai respon terhadap kegagalan rezim ini.
Bertolak belakang dengan Islam, aktivitas mengoreksi penguasa yang lalai, salah dan keliru, termasuk perkara yang maklum dan menjadi bagian dari agama ini. Salah satu hadits yang mendorong untuk mengoreksi penguasa dan menasihati mereka di antaranya hadits dari Tamim al-Dari ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Agama itu adalah nasihat’. Para sahabat bertanya: “Untuk siapa?” Nabi Saw. bersabda: ‘Untuk Allah, kitab suci-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum Muslimin dan kaum Muslimin pada umumnya.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Ahmad. Lafal Muslim)
Rasulullah Saw. bahkan secara khusus telah memuji aktivitas mengoreksi penguasa zalim, untuk mengoreksi kesalahannya dan menyampaikan kebenaran kepadanya.
“Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar kepada pemimpin yang zalim.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, Abu Dawud, al-Nasa’i, al-Hakim dan lainnya)
“Penghulu para syuhada’ adalah Hamzah bin ‘Abd al-Muthallib dan orang yang mendatangi penguasa zalim lalu memerintahkannya (kepada kebaikan) dan mencegahnya (dari keburukan), kemudian ia (penguasa zalim itu) membunuhnya.” (HR. al-Hakim dan al-Thabrani).
Jelas. Demokrasi hanya menyuburkan sikap antikritik, anti-Islam dan represif. Suara kaum Muslimin hanya menjadi batu loncatan untuk meraih kekuasaan. Sementara nasihat dan kritik dari para ulama dan tokohnya dibungkam dengan narasi jahat nan licik. Maka tidak ragu lagi saatnya sapu bersih demokrasi-kapitalisme dan bersegera menuju sistem Islam yang rahmatan lil ‘alamin. Wallahu’alam bishshawwab.
Ummu Naflah
Pegiat Literasi dan Mentor di AMK