Kabinet Gemuk, Apakah Efektif dan Solutif?
Sejumlah elite partai dan tokoh dikabarkan datang menemui presiden terpilih, Prabowo Subianto, di kediamannya di Jakarta pada Senin, 14 Oktober 2024. Mereka digadang-gadang bakal menjadi calon menteri di kabinet gemuk presiden terpilih tersebut.
Ya, menjelang pelantikan sebagai presiden pada 20 Oktober mendatang, Prabowo disebut akan membentuk kabinet gemuk seiring terus membaiknya hubungannya dengan para petinggi partai yang tak mengusungnya pada pilpres lalu.
Kabinet gemuk ini merujuk jumlah menteri yang dikabarkan akan ditetapkan oleh Prabowo sejumlah antara 44 atau 46 menteri. Jumlah tersebut jika benar telah mendapatkan legalitas dari UU Kementerian Negara terbaru yang menghapus batas maksimal jumlah menteri dalam sebuah kabinet pemerintahan.
Merespons pembentukan kabinet gemuk tersebut, pakar hukum tata negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, mengatakan bahwa kabinet gemuk ini akan memunculkan dampak negatif. Menurutnya, tidak hanya soal kabinet dan anggaran negara saja yang membengkak, tetapi juga mengenai ketiadaan partai oposisi yang akan membuat pemerintahan Prabowo bergulir tanpa pengawasan. (BBC.com, 14/10/2024).
Pembentukan kabinet gemuk tidak hanya menambah beban anggaran negara, tetapi juga membuka pintu korupsi lebar-lebar. Ya, menjadi rahasia publik bahwa dalam naungan demokrasi, kursi kekuasaan kerap disalahgunakan untuk mendulang materi untuk mengembalikan modal pesta demokrasi. Modal pesta demokrasi yang tak sedikit ini membuat para elite partai yang duduk di kursi kekuasaan dan legislatif memutar otak, mencari jalan mengembalikan modal. Korupsi pun dipilih menjadi cara instan untuk mengembalikan modal tersebut, meskipun harus berkhianat kepada rakyat.
Kabinet gemuk juga tidak menjadi jaminan kepentingan rakyat menjadi prioritas. Bahkan bisa saja seperti yang sudah-sudah hanya untuk “menggemukkan” kepentingan oligarki kapital dan hasrat melanggengkan kekuasaan. Bagi-bagi kue kekuasaan ala demokrasi ini juga berpotensi mengancam kepentingan publik. Sebab, para elite partai yang duduk di kabinet gemuk ini berpotensi besar memusatkan sumber daya negara untuk kepentingan kelompoknya.
Pembentukan kabinet gemuk dengan dalih efektivitas pemerintah tampaknya pun akan terbantahkan. Sebab, sebuah penelusuran yang melibatkan akademisi yang dilakukan oleh Majelis Rendah Inggris mengungkapkan terdapat konsensus yang menguat bahwa jumlah menteri yang makin banyak justru berdampak negatif pada efektivitas pemerintah.
Mantan Sekretaris Kabinet Inggris, Andrew Turnbull, dalam sebuah sesi dengar pendapat di Majelis Rendah Inggris, mengatakan bagaimana seorang menteri yang tak menerima gaji tetap akan menguras anggaran publik jika dia bekerja dalam kabinet yang gemuk. (BBC.com, 14/10/2024).
Sejatinya, rakyat tak butuh kabinet gemuk yang berujung hanya untuk melayani kepentingan penguasa dan oligarki di sekitarnya. Yang dibutuhkan rakyat adalah pemimpin yang amanah dan cakap dalam mengurus urusan rakyat, serta para pejabat yang tulus melayani rakyat. Namun, rasanya pesimis berharap para pemimpin dan pejabat yang demikian lahir dalam naungan sistem demokrasi yang menghalalkan segala cara demi meraih kekuasaan.
Kabinet gemuk yang boros anggaran dan berpotensi korupsi besar tentu tidak akan ditemui dalam Islam. Dalam naungan Islam, negara memiliki struktur pemerintahan dan administrasi yang ideal dan efektif. Struktur ini tidak disusun berdasarkan kepentingan penguasa, tetapi merujuk pada syarak.
Dalam kitab Nidzam al-Islam karya An-Nabhani, pada halaman 96 disebutkan bahwa struktur negara terdiri atas tiga belas bagian, yakni (1) Khalifah, (2) Mu’awin Tafwidl, (3) Mu’awin Tanfidz, (4) Al-Wulat, (5) Amirul Jihad, (6) Keamanan Dalam Negeri, (7) Urusan Luar Negeri, (8) Perindustrian, (9) Al-Qadla, (10) Kemaslahatan Umat, (11) Baitulmal, (12) Penerangan, (13) Majelis Umat. Sebelas struktur berada langsung di bawah Khalifah dan bertanggung jawab kepada Khalifah, kecuali Majelis Umat.
Majelis Umat ini jelas berbeda dengan parlemen versi demokrasi. Sebab, peran Majelis Umat dalam sistem Islam adalah untuk memberikan masukan kepada Khalifah dalam berbagai aktivitas dan perkara praktis berkaitan dengan politik dalam negeri yang tidak memerlukan analisis dan kajian yang mendalam. Di sisi lain, Majelis Umat juga berwenang untuk mengoreksi Khalifah atas semua aktivitas yang terjadi secara praktis dalam negara. Majelis Umat ini juga tidak boleh membuat dan melahirkan hukum seperti parlemen dalam sistem demokrasi saat ini. Sebab, hanya Allah SWT saja yang berhak membuat hukum.