Kala Mendikdasmen Abdul Mu’ti Mengaku Iri pada Kiai Cholil Nafis

Melihat kenyataan sekarang Mu’ti menerjemahkan organisasi Nahdlatul Ulama bukan kebangkitan para ulama, tetapi kebangkitan kaum cendekiawan, atau kebangkitan kaum intelektual. Kenyataan yang berkembang di kalangan NU banyak yang menguasai kitab putih, selain tentu kitab kuning. Sering dibuat perbandingan kalau NU kitab kuning, Muhammadiyah kitab putih.
“Alhamdulillah NU yang menguasai kitab putih banyak, Muhammadiyah menguasai kitab kuning juga banyak”, ucapnya.
Dulu orang menyebut Muhammadiyah modernis, NU tradisionalis sudah tidak relevan lagi. Mengutip buku Fazrul Rachman berjudul “Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Traditions” sekitar tahun 1982-an memang masih menyebut kesenjangan modernis dan tradisional. Mu’ti katakan kesenjangan kelompok modernis dan kaum tradisionalis kini hampir tidak ada lagi.
“Pertemuan seperti ini dimana tokoh dari berbagai ormas sangat cair, itu tidak terjadi di negara Muslim lain”, tuturnya.
Mengapa demikian, Abdul Mu’ti menjelaskanya dengan mengutip Prof Kuntowijoyo dalam buku “Muslim tanpa Masjid”, buku terbitan 1994 yang menjelaskan meski banyak generasi muslim berasal dari latar belakang yang berbeda-beda tetapi kemudian memiliki sisi keislaman yang hampir sama.
Menurut Prof Kunto yang disampaikan Abdul Mu’ti, ada tiga konvergensi yang terjadi. Pertama konvergensi antara kelompok tradisional dan kelompok modernis, tidak ada lagi perbedaan yang sangat tajam antara NU dan Muhammadiyah. Kedua konvergensi antara kelompok santri dan abangan, yang juga sudah nyaris tidak terjadi.
Ketiga konvergensi politik, hampir tidak ada perbedaan antara partai Islam dengan partai yang tidak Islam atau partai nasionalis. Abdul Mu’ti mencontohkan PDI Perjuangan yang dulu identik dengan kelompok yang cederung pada abangan sekarang ini banyak santri yang berada di PDI Perjuangan. Juga banyak santri ada di partai Golkar yang identik dengan abangan.
Masih mengutip buku yang sama, konvergensi terjadi, pertama, sejak Presiden Suharto mewajibkan pendidikan agama sebagai pelajaran wajib di semua jenjang dan jenis pendidikan, yang sebelumnya pendidikan agama hanya pilihan. Sehingga di situ anak anak dari keluarga abangan, keluarga santri, keluarga priyayi belajar agama dari guru yang sama dan juga dari buku pelajaran agama yang sama.
Kedua, karena peran IAIN, tempat sebagaian besar kalangan santri kuliah di IAIN, yang mereka belajar dari dosen yang sama, literatur yang sama. Menurut Abdul Mu’ti yang juga Guru Besar IAIN, sekarang UIN Jakarta, perbedaan Muhammadiyah dan NU sudah hampir tidak terlihat.
“Perbedaannya mungkin afiliasi organisasi saja, pandangan keagamaan sudah hampir sama,” jelasnya.
Faktor ketiga, menurut pendapat Abdul Mu’ti, banyak anak-anak NU yang belajar di kampus dan sekolah Muhammadiyah, 70 persen mahasiswa di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) itu dari NU, begitu juga di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
“Ketika mereka belajar di Muhammadiyah ada kemungkinan, dia masuk Muhammadiyah, kemungkinan lain NU nya makin kuat, yang banyak terjadi makin kuat,” urainya sambil tertawa. []