JEJAK SEJARAH

Kampung Al-Munawar, Jejak Orang Arab di Palembang

Pada tahun 1700-an Sultan Abdurrahman memperbolehkan mereka untuk tinggal di Palembang dengan syarat hidup berkelompok. Sedangkan menurut penelitian Azyumardi Azra orang-orang Arab di datangkan oleh Sultan Abdurrahman dari Aceh untuk memulihkan kondisi perekonomian Palembang yang terpuruk setelah Kutogawang dibumi hanguskan oleh Belanda pada tahun 1659. Orang-orang Arab yang tinggal di Palembang diberi kekuasaan untuk bermukim sampai pada masa Sultan Mahmud Badaruddin pada awal abad ke-19. Dari segi populasi jumlah orang Arab di Palembang menempati jumlah kedua terbanyak di Nusantara setelah Aceh

Salah satu tempat yang menjadi komunitas orang Arab tinggal adalah Kampung Arab Al-Munawar. Secara geografis kampung Arab Al-Munawar terletak di pinggir sungai Musi tepatnya dikelurahan 13 Ulu Kecamatan Seberang Ulu II kota Palembang. Nama kampung Al-Munawar diambil dari nama Sayyid Abdurrahman Al-Munawar. Adapun jumlah penduduk di Kampung Arab Al-Munawar hanya memiliki sekitar 300 orang atau sekitar 30 kepala keluarga yang umumnya berprofesi sebagai pedagang, ustad, dan guru ngaji.

Tradisi Kampung Arab Al-Munawar Palembang

Jika selama ini sebagian besar daerah di Indonesia, pada umumnya merayakan maulid pada tanggal 12 Rabiul Awwal, maka tidak sama halnya dengan Kampung Arab Al-Munawar, di Kampung Arab Al-Munawar perayaan Maulid Arba’in yang dilaksanakan selama 40 malam berturut-turut, dimulai dari tanggal 1 Rabiul Awwal sampai 10 Rabiul Akhir. Maulid merupakan salah satu tradisi yang masih terjaga eksistensinya di Kampung Arab Al-Munawar sampai saat ini. Hal itu setidaknya terjadi karena satu alasan, yakni alasan normatif, karena yang tinggal di Kampung Arab ini rata-rata adalah ahlu bait Nabi Muhammad (Fatonah, 2020).

Sedangkan tradisi kedua adalah ziarah kubro, ziarah kubro sendiri merupakan kegiatan mengunjungi makam atau kuburan yang dilakukan oleh masyarakat dari kalangan etnis Arab di kota Palembang. Tradisi ini biasanya dilaksanakan pada 7 hari terakhir di bulan Sya’ban, awalnya tradisi ini bersifat ekslusif hanya diikuti oleh komunitas Arab, tetapi seiring berkembangnya waktu diikuti oleh masyarakat luas. Beberapa sumber mencatat bahwa pada tahun 2017 ziarah ini diikuti sekitar 10.000 orang yang berasal dari berbagai daerah (Amri, 2018).

Adapun ziarah dilakukan ke pemakaman habaib dan auliya di Makam Kambang Koci. Pendirian makam Kambang Koci diawali dengan peristiwa ketika Sultan Mahmud Badaruddin I mewakafkan sebidang tanah untuk pemakaman anak, cucu, dan menantunya pada 1735 M. Lokasi makam ini dekat dengan Makam Kawah Tengkurep, yakni makam para sultan Palembang. Dinamakan Kambang Koci karena, Kambang yang berarti kolam dan sekoci yang berarti perahu. Hal ini karena tempat pemakaman tersebut awalnya merupakan tempat penyucian perahu (Nurhardiyanti).

Bahkan menurut Wali Kota Palembang, tradisi ziarah kubro ini masuk dalam top 10 kalender event pariwisata di Bumi Sriwijaya. Dengan banyaknya orang-orang Arab yang bermukim di Palembang, maka tidak heran jika Palembang dijuluki sebagai Hadramaut Tsani atau kedua. []

Dimas Sigit Cahyokusumo, Penikmat Tasawuf dan Sejarah asal Jakarta.

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button